Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan warisan
peradaban Islam dan sekaligus aset bagi pembangunan pendidikan nasional.
Sebagai warisan, ia merupakan amanat sejarah untuk dipelihara dan dikembangkan
oleh ummat Islam di masa ke masa. Sedangkan sebagai aset, pendidikan Islam yang
tersebar di berbagai wilayah ini membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk
menata, dan mengelolanya sesuai dengan sistem pendidikan nasional. Dalam kedua
perspektif di atas, pendidikan Islam di Indonesia selalu menjadi lahan
pengabdian kaum muslimin dan sekaligus dan sekaligus menjadi bagian dari sistem
pendidikan nasional.
Membahas masalah pendidikan Islam di Indonesia secara
garis besar terbagi ke dalam dua tingkatan: makro dan mikro. Pada level yang
pertama, pendidikan Islam bersentuhan dengan sistem pendidikan nasional dan
faktor-faktor eksternal lain. Sedangkan pada level yang kedua, pendidikan Islam
dihadapkan pada tuntutan akan proses pendidikan yang efektif sehingga
menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Berbagai persoalan dari kedua level di atas pada
prinsipnya mendorong adanya perubahan arah pendidikan Islam mengingat tantangan
kontemporer dan tantangan masa depan yang berbeda dengan masa lalu. Dalam
makalah ini dibahas antara lain:
1. Secara ringkas latar belakang dan sejarah
pendidikan Islam di Indonesia sebagai wawasan untuk melakukan perubahan.
2. Meluruskan konsep Ilmu dalam Islam
3. Perkembangan pendidikan Islam ke arah
penegasan visi dan strategi pembinaan, namun pembahasan ini dikhususkan pada
madrasah di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Selintas
sejarah tentang Islam dan pendidikan
Islam adalah agama yang menempatkan pendidikan dalam posisi
yang sangat vital. Bukanlah sesuatu yang kebetulan jika lima ayat pertama yang
diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dalam Surat al-Alaq dimulai dengan
perintah membaca, iqra’. Di samping itu, pesan-pesan al-Quran dalam hubungannya
dengan pendidikan pun dapat dijumpai dalam berbagai ayat dan surat dengan aneka
ungkapan pernyataan, pertanyaan dan kisah. Lebih khusus lagi, kata “ilm” dan
dierivasinya digunakan paling dominan dalam al-Quran untuk menunjukkan
perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan.[2] (Qurais Sihab:2005)
Menegaskan kenyataan di atas, pasangan sarjana muslim kontemporer, Ismail Raji
al-Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruq, membuat pernyataan yang cukup kuat bahwa,
“Islam mengidentifikasi dirinya sendiri dengan ilmu”. Bagi Islam ilmu adalah
syarat dan sekaligus tujuan dari agama ini. Hal ini juga ditegaskan dalam surat
al-Mujadilah ayat 11: bahwa “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang
beriman dan yang menuntut Ilmu”.
Peradaban Islam sejak awal juga menunjukkan prestasi yang
sangat berarti dalam bidang keilmuan dan pendidikan. Pada masa permulaan
penyiaran Islam, Nabi Muhammad sendiri menggunakan pendekatan pendidikan, bukan
pemaksaan, untuk mengajarkan agama Islam pada lingkaran khusus di rumah Arqam.
Besarnya perhatian Nabi terhadap pendidikan juga terlihat ketika memutuskan
pembebasan bagi tahanan peran non-muslim dengan syarat yang bersangkutan
terlebih dahulu mengajarkan tulis baca kepada orang-orang muslim yang masih
buta huruf.
Dalam perkembangan kemudian, masjid yang pada dasarnya
berfungsi sebagai tempat ibadah, justru menjadi tempat pendidikan yang menonjol
pada dua abad pertama sejarah peradaban Islam. Tradisi ini terus berlanjut dan
berkembang khususnya pada masa keemasan peradaban Islam dengan pendirian
lembaga-lembaga pendidikan yang bervariasi mulai dari masjid-masjid, dar
al-Quran, dar al-hikmah, dar al-hadist sampai dengan madrasah. Lembaga yang
terakhir ini dalam Islam yang memberikan sumbangan penting bagi perkembangan
tradisi college dan universitas modern di Barat.
Perhatian terhadap sejarah peradaban Islam sejauh ini
masih berpusat pada aspek politik yang menggambarkan pasang surut kekuasaan
Islam. Dinamika dan pergumulan Islam dalam bidang pendidikan dan intelektual
tergolong wilayah kajian yang masih terlantar. Sekalipun demikian, beberapa
sarjana telah berhasil mengungkapkan dimensi intelektual dari sejarah peradaban
Islam itu dengan beberapa tesisnya yang menarik. Mereka mengakui bahwa
pemikiran-pemikiran intelektual muslim pada masa pertengahan telah menjangkau
wilayah kajian yang kompleks, mulai dari filsafat, keagamaan, humaniora sampai
dengan ilmu-ilmu kealaman. Pemberian contoh dengan membedakan keagamaan dengan
yang lain banyak dibantah oleh pakar Islam. Alasan utama dari ketidak setujuan
itu adalah terjadi dualisme ilmu atau memisahkan antara ilmu keagamaan dengan
non keagamaan.
Wilayah pemikiran pakar muslim dalam sejarah telah mampu
mensintesiskan pemikiran-pemikiran Yunani Kuno setidak-tidaknya telah berhasil
menjembatani munculnya masa pencerahan peradaban Barat yang berlanjut hingga
masa modern. Tanpa Islam bisa dikatakan tidak akan pernah muncul peradaban
Barat modern seperti yang disaksikan sekarang ini.
B.
Eksistensi Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan
dari proses sejarah sebelumnya. Faktor utama hal ini adalah sejarah penyebaran
Islam di Indonesia. Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Indonesia,
pendidikan Islam sudah mulai tumbuh meskipun masih bersifat individual. Para
penganjur agama ini mendekati masyarakat dengan acara yang persuasif dan
memberikan pengertian tentang dasar-dasar agama Islam.
Kemudian,
dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau, dan langgar mulailah secara
bertahap berlangsung pengajian umum mengenai tulis baca al-Quran dan wawasan
keagamaan. Namun demikian, pelembagaan khusus untuk pelaksanaan pendidikan bagi
umat Islam di Indonesia daru terjadi dengan pendirian pesantren. Lembaga ini
diperkirakan muncul pada abad ke-13 M dan mencapai perkembangannya yang optimal
pada abad ke-18 M. Para ahli agaknya sepakat bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia.
Gairah ummat Islam untuk mendalami ajaran agamanya
secara menyeluruh terus meningkat. Untuk tujuan ini, sebagian lulusan pesantren
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi ke beberapa pusat kajian Islam di
Timur Tengah. Fenomena gelombang besar para umat Islam ke Timur Tengah intensif
mulai dari akhir abad ke-18 M yang pada akhirnya tidak saja menambah wawasan
keilmuan mereka tetapi juga menambah pengalaman dan inspirasi mereka dari
gerakan modernisasi pendidikan Timur Tengah.Lulusan-lulusan pendidikan Timur
Tengah pada masa itu kemudian menjadi pemrakarsa pendidikan madrasah-madrasah
di Indonesia. Berbeda dengan lembaga pendidikan pesantren, yang dicontoh dari
Timur Tengah itu merupakan lembaga pendidikan yang lebih modern dari sudut
metodologi dan kurikulum pembelajarannya.
Pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia,
dalam berbagai bentuk dan coraknya, merupakan upaya pendidikan untuk masyarakat
secara terbuka. Sampai munculnya pesantren, lembaga pendidikan Indonesia
sebelumnya cenderung bersifat sangat ekslusif. Pada masa pra-Islam, selain para
rohaniawan Hindu, tidak semua orang dapat mengikuti pendidikan yang
terlembagakan. Sedangkan pada masa penjajahan, sekolah-sekolah pada mulanya
didirikan untuk kalangan bangsawan dan kaum penjajah. Baru setelah adanya
desakan gerakan pencerahan dan perjuangan kalangan terdidik Indonesia,
pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah-sekolah
rakyat yang lebih terbuka.
Jadi perkembangan pendidikan Islam di Indonesia berasal
dari proses interaksi misi Islam dengan tiga kondisi. Pertama, interaksi Islam
dengan budaya lokal pra Islam telah melahirkan pesantren. Meskipun pandangan
ini masih kontroversial, tetapi pelembagaan pesantren bagaimanapun tidak bisa
dipisahkan dari proses akulturasi Islam dalam konteks budaya yang dibawa
penjajah. Kedua interaksi pendidikan Islam dengan tradisi Timur Tengah modern
telah menghasilkan lembaga madrasah. Ketiga, interaksi Islam dengan politik
pendidikan Hindia Belanda telah membuahkan lembaga dan sekolah Islam, tetapi
dalam sejarah pendidikan di Indonesia kedua lembaga itu lahir dari inspirator
yang berbeda: satu dari lulusan Timur Tengah modern, sedang yang lain dari
gerakan yang kooperatif dengan pendidikan ala Belanda.[5]
Dualisme yang mengakar dan konsep ilmu dalam Islam
Akibat akulturasi dan pertemuan pola pendidikan Islam
dengan konsep ala penjajahan, serta upaya kooperatif untuk mengatasi buta huruf
di Indonesia banyak perubahan konsep pendidikan Islam di Indonesia. Namun yang
ironis dan krusial masyarakat Islam Indonesia telah terbawa arus dan paradigma
dualisme ilmu antara ilmu agama dengan ilmu umum. Paradigma ini yang kemudian
berurat berakar sehingga konsep ilmu menjadi rusak dan tidak sesuai dengan
ajaran Islam.
Munculnya paradigma dualisme merupakan warisan kolonial
yang sulit diluruskan. Bahkan dalam sejarah masa lalu dualisme ini muncul
karena pertentangan antara tokoh agama di gereja dengan para ilmuwan. Pada
akhirnya muncul pernyataan bahwa siapa yang mau mendalami agama ke gereja dan
siapa yang mau memahami ilmu pergi ke ilmuwan. Faktor inilah yang dalam
realitasnya menimbulkan pemahaman masyarakat termasuk umat Islam secara umum
bahwa ilmu agama itu hanya al-Quran dan hadist dengan pengembangan yang
terbatas. Adapun ilmu sains, ekonomi, seni, teknik dan politik serta humaniora
bukanlah bagian dari ilmu agama.
Pemikiran seperti ini idealnya tidak dibiarkan dan mesti
dikikis dari cara berpikir umat Islam. Berbagai pembaharuan pola pikir ini
telah banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam mulai dari zaman dahulu sampai
abad ke-21 M. Tokoh Islam masa lalu seperti al-Ghozali yang membagi ilmu hanya
dari segi hukum mencarinya yaitu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.[6] Ilmu fardhu
ain yang berkaitan dengan al-Quran dan hadist sedangkan ilmu fardhu kifayah
seperti ilmu kedokteran, administrasi, politik dan ilmu pendidikan. Adapun
tokoh abad 21 seperti Imam Suprayogo menjelaskan ilmu itu sumbernya dari
ayat-ayat Allah yaitu ayat qauliyah :wahyu yang diturunkan Allah (al-Quran dan
hadist) dan yang ayat kauniyah : semua ciptaan Allah yang dianalisis, teliti
melalui penggunaan potensi berpikir.
Pemahaman ini selanjutnya memberikan arah kepada umat
Islam bahwa ilmu apa pun merupakan ilmu berasal dari ayat-ayat Allah. Idealnya
setiap yang memiliki ilmu semakin tinggi keinginan untuk mendekatkan diri
kepada Allah serta semakin terwujud kemakmuran di muka bumi. Karena tujuan
Allah memberi ilmu adalah itu kesejahteraan manusia.
Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional
Pembahasan pada poin ini didasarkan pada tesis bahwa
pendidikan Indonesia dalam konteks historis bukan pada konsep atau paradigma
keilmuannya. Karena ketika bermaksud melaksanakan pendidikan untuk rakyat
Indonesia diawali oleh pemerintah Hindia Belanda yang telah memilih lembaga
pendidikan sekolah sedangkan lembaga pendidikan Islam masih lembaga nonformal.
Jadi lembaga pendidikan Islam merupakan institusi pendidikan yang berkembang
atas dasar dukungan dan kekuatan dari masyarakat sendiri. Dengan demikian,
sejak saat itulah mulainya kerangka dikotomik dalam sistem pendidikan untuk
rakyat Indoensia: antara pendidikan pemerintah Hindia Belanda dan pendidikan
Islam. Dikotomik inilah yang pada akhirnya membuyarkan konsep ilmu Islam.
Meskipun demikian, dalam perkembangannya banyak sekolah
Islam yang mendapat pengakuan dan subsidi dari pemerintah, karena menggunakan
sistem dan kurikulum yang hampir sama dengan sekolah pemerintah. Sementara itu
pesantren pada umumnya tetap menjaga jarak dengan sistem pendidikan
persekolahan, baik karena alasan agamis maupun politis.[8]
Pada perkembangan selanjutnya pemerintah melakukan upaya
nasionalisasi untuk mengakomodir pendidikan Islam yang memang terus mengakar
dan berkembang. Peristiwa ini didukung oleh UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989 dan
sebelumnya didahului dengan SKB Tiga Menteri. Perkembangan terakhir adanya UU
Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Perkembangan yang spektakuler dari
sekolah-sekolah Islam inilah yang memunculkan beberapa nama sekolah terkenal
seperti pesantren Gontor Darussalam, Maarif, Al-Azhar dan sangat banyak yang
lainnya. Sedangkan di sekolah-sekolah dengan dikotomik itu terlihat pada
pembelajaran agamanya.
Dengan beberapa perkembangan sebagaimana digambarkan di
atas, posisi pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional dapat
diidentifikasi sediktinya ke dalam tiga pengertian.
Pertama, pendidikan Islam adalah lembaga-lembaga
pendidikan keagamaan seperti pesantren, pengajian dan madrasah diniyyah.
Kedua pendidikan Islam adalah muatan atau materi
pendidikan agama Islam dalam kurikulum pendidikan nasional.
Ketiga, pendidikan Islam merupakan ciri khas dari
lembaga pendidikan persekolahan yang diselenggarakan oleh departemen agama
dalam bentuk madrasah, dan oleh organisasi dan yayasan keagamaan Islam dalam
bentuk sekolah-sekolah Islam.
Kondisi obyektif pendidikan Islam di Indonesia
Praktek pendidikan Islam di Indonesia sebagaimana
diidentifikasi di atas mengalami pasang surut dari waktu-waktu. Namun demikian,
dalam perkembangan terakhir kenyataanya menunjukkan kemajuan, setidaknya jika
dilihat indikator kuantitatif. Pelaksanaan pendidikan agama Islam di
sekolah-sekolah umum misalnya berlangsung minimal 2 jam pelajaran perminggu.
Bahkan banyak sekolah lainnya menambah dengan kegiatan ekstrakurikuler dan
termasuk juga kurikulum muatan lokal. Selain itu di sekolah-sekolah juga
diadakan paket-paket khusus keagamaan seperti pesantren kilat, dan kurikulum
plus.
Adapun masalah klasik yang menjadi perdebatan saat ini
di sekolah-sekolah adalah mengenai kurangnya jumlah jam pelajaran. Hal ini
diiringi dengan adanya keluhan dari para guru mengenai prilaku murid atau
kenakalan serta menurunnya akhlak anak. Beberapa sekolah yang kreatif mereka
mencari berbagai strategi supaya kesulitan-kesulitan pembinaan akhlak anak
tersebut dapat diatasi. Sehingga di beberapa sekolah ditemukan para guru dengan
mensyaratkan perilaku dan lulusan nilai pengetahuan dan sikap serta praktek
agama untuk dapatnya siswa mengikuti berbagai ujian.
Adapun secara kuantitas jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI),
MTs dan MA sangat benyak peningkatan. Ini menandakan bahwa pendidikan Islam itu
memiliki peningkatan yang signifikan.[9] (Maksum:1999).
C. Masa depan
pendidikan Islam
Pendidikan Islam di Indonesia secara normatif pada
dasarnya bersumber dari ajaran agama yang universal. Konsisten dengan prinsip
ini, pendidikan Islam akan mampu bertahan dalam perubahan yang terjadi dari
masa ke masa. Prinsip universal itu menunjukkan kesanggupannya untuk satu sisi
mempertahankan semangat keIslamannya dan di sisi lain menyesuaikan aspek teknisnya
dengan perkembangan zaman. Sebagaimana dapat dilihat dalam sejarahnya,
pendidikan Islam memperlihatkan variasi dari satu periode ke periode lain, dan
dari satu lokasi ke lokasi lain, tetapi dengan semangat keIslaman yang
permanen.
Masa depan pendidikan Islam di Indonesia ditentukan baik
oleh faktor internal maupun oleh faktor eksternal. Secara internal, dunia
pendidikan Islam pada dasarnya masih menghadapi problem pokok berupa rendahnya
kualitas sumberdaya manusia pengelola pendidikan. Hal ini terkait dengan
program pendidikan dan pembinaan tenaga kependidikan yang masih lemah dan pola
rekrutmen tenaga pegawai yang kurang selektif. Namun demikian, tren dari waktu
ke waktu menunjukkan bahwa penyelesaian atas masalah sumber daya manusia
mengalami penanganan yang semakin baik.
Di samping adanya usaha perbaikan pada lembaga-lembaga
pendidikan kependidikan, sejak tiga tahun terakhir ini telah diselenggarakan
program-program pelatihan dalam berbagai bidang dan profesi kependidikan, mulai
dari pimpinan sekolah, pengelola administrasi dan keuangan, pustakawan, guru,
tenaga bimbingan dan penyuluhan, pengawas, sampai dengan pengurus organisasi
orang tua siswa. Dalam jangka panjang tenaga-tenaga yang terlatih itu akan
menyebarkan pengetahuan dan keterampilannya kepada rekan sejawat sehingga
secara bertahan akan meningkatkan kinerja lembaga-lembaga pendidikan Islam
khususnya madrasah.
Secara eksternal, masa depan pendidikan Islam
dipengaruhi oleh tiga isu besar; globalisasi, demokrasi dan liberalisasi Islam.
Globalisasi tidak semata-mata mempengaruhi sistem pasar, tetapi juga sistem
pendidikan. Penetrasi budaya global terhadap kehidupan masyarakat Indonesia
akan direspon secara berbeda-beda oleh kalangan pendidikan: permisif, defensif,
dan transfomratif.
Kelompok pertama akan cenderung menerima begitu saja
pola model budaya global yang dialirkan melalui teknologi informasi, tanpa
memahami nilai dan substansinya. Sebaliknya, kelompok kedua akan apriori
terhadap capaian budaya dan peradaban global, semata-mata karena ia tidak
datang dari tradisi yang diikutinya selama ini. Sedangkan kelompok ketiga
berusaha mendialogkan antara budaya global dengan budaya lokal sehingga terjadi
sintesis budaya yang dinamis dan harmonis. (Maksum:1999).
Visi Pendidikan Islam “agamis” populis, berkualitas dan
beragam
Dalam masa yang cukup panjang, pendidikan Islam di
Indonesia berada di persimpangan jalan antara mempertahankan tradisi lama dan
mengadopsi perkembangan baru. Upaya mempertahankan sepenuhnya tradisi lama
berarti status quo yang menjadikannya terbelakang meskipun tercapai kepuasan
emosional dan romantisme dengan identitas pendidikan masa lalu. Sementara itu,
mengadopsi perkembangan baru begitu saja berarti mengesampingkan akar sejati
dan nilai autentik dari sejarah pendidikan Islam. Walaupun berhasil memenuhi
keperluan pragmatis untuk menjawab tantangan sesaat dari lingkungan sekitarnya.
Situasi ini tercermin dalam kebingungan, maju-mundur, dan ketidakjelasan arah
dan tujuan modernisasi pendidikan Islam selama ini. (Azim Nanji: 2003).
Jalan keluar dari situasi di atas menuntut adanya
penegasan visi pendidikan Islam sehingga tidak tergoda oleh tarikan-tarikan
ekstrim, tetapi mampu mengelola berbagai kecendrungan yang tersedia secara
responsif dan tuntas. Visi itu ditempatkan sebagai pemandu yang Menjamin
konsistensi pendidikan Islam dalam konteks perubahan dan dinamika yang terjadi
dalam dirinya secara terus menerus. Kerangka visi pendidikan Islam itu harus
dibangun dengan mempertimbangkan sumber nilai/ajaran Islam, karakter essensial
dari sejarah pendidikan Islam, dan rumusan tantangan masa depan. Dengan kata
lain, visi pendidikan Islam masa depan adalah terciptanya sistem pendidikan
yang Islami, populis, berorientasi mutu, dan kebhinekaan.
Karakter Islami pada lembaga pendidikan Islam, seperti
madrasah dan sekolah merupakan identitas utama yang harus tercermin dalam
kurikulum dan proses pendidikan. Berbeda dengan lembaga pendidikan sekuler,
pendidikan Islam dilaksanakan dengan mengejawantahkan nilai dan ajaran Islam
dalam kehidupan dan perilaku semua komponen pendidikan mulai dari pimpinan
sampai dengan siswa. Karakter Islami, yang pertama dan utama, berarti kesadaran
sebagai pribadi muslim untuk menjalankan secara konsisten perintah dan larangan
agama dalam segala situasi dan kondisi, termasuk di lingkungan madrasah.
Selain itu, karakter Islami berarti orientasi pendidikan
yang holistik dan tidak terbatas pada cita-cita praktis, karena menempatkan
nilai-nilai spiritual dan transendental (ketuhanan) dalam proses pancapaian
tujuan pendidikan. Karakter Islami juga berarti strategi pembelajaran keagamaan
yang tidak verbalistik sehingga memudahkan siswa untuk memudahkan keterampilan
dan wawasan ke-Islam-annya secara terpadu. Di samping ketiga makna di atas
karakter Islami dari pendidikan Islam itu berarti ajakan dan seruan bagi
lingkungan sekitar madrasah untuk meningkatkan syiar Islam melalui media
pendidikan.
Karakter populis pada lembaga pendidikan Islam merupakan
pesan utama dari sejarah pendidikan Islam di Indonesia dari masa ke masa. Sejak
periode yang paling dini, pendidikan Islam lahir dan berkembang dengan dukungan
masyarakat serta terbuka bagi semua lapisan sosial. Dalam banyak kasus, sekali
mengabaikan watak populisnya lembaga pendidikan Islam akan mengalami kematian
karena ditinggalkan oleh massa pendukungnya. Program keunggulan pendidikan
Islam seperti madrasah model tidak dimaksudkan untuk membuat lembaga pendidikan
itu bersifat ekslusif. Watak populis dari pendidikan Islam ini sangat relevan
dengan tuntutan essensial ummat manusia sepanjang masa yang membutuhkan
persaudaraan, saling kasih, dan semangat memberdayakan kaum tertindas. Dengan
kata lain, pendidikan Islam hendaknya dilaksanakan dalam semangat yang merakyat
sehingga melahirkan hasil pendidikan yang berprestasi dan sekaligus peduli
dengan nasib sesama.
Ciri lain dari visi pendidikan Islam masa depan adalah
berorientasi pada mutu. Hal ini merupakan tantangan masa depan yang sangat
nyata, karena penghargaan masyarakat terhadap sebuah lembaga pendidikan sangat
ditentukan oleh tingkat kualitas pendidikannya. Kualitas pendidikan itu
tercermin dalam dua tataran: proses pendidikan dan hasil pendidikan. Proses
pendidikan menggambarkan suasana pembelajaran yang aktif dan dinamis serta
konsisten dengan program dan target pembelajaran. Sedangkan hasil pendidikan
menunjuk pada kualitas lulusan dalam bidang kognitif, affektif, dan
psikomotorik. Jika gagal dalam mewujudkan visi ini, lembaga pendidikan Islam,
seperti madrasah, akan tertinggal dari lembaga-lembaga pendidikan lain.
Karakter keagamaan pada lembaga pendidikan Islam pada
prinsipnya menunjukkan adanya fleksibilitas dalam pelaksanaan pendidikan Islam.
Praktek penyeragaman yang terjadi selama tiga dekade terakhir disadari telah
mematikan kreatifitas pengelolaan dan pengembangan pendidikan Islam. Hal ini
sekaligus bertentangan dengan watak populis yang meniscayakan adanya lembaga,
model, dan pendekatan yang bervariasi sesuai dengan kompleksitas masyarakat.
Pendidikan Islam hendaknya membiarkan dengan pengelolaan yang baik, tumbuh dan
berkembangnya aneka ragam lembaga pendidikan Islam mulai dari pesantren,
madrasah dan majelis taklim serta kelompok kajian.
Dalam waktu yang bersamaan setiap lembaga pendidikan
Islam hendaknya juga dibiarkan berkembang dalam keanekaragaman tipe, mulai dari
madrasah umum/sekolah, madrasah kejuruan, madrasah keagamaan, sampai dengan
madrasah model. Sementara itu dalam proses pembelajarannya, pendidikan Islam
dapat mengembangkan berbagai strategi yang menjamin efektifitas pendidikan.
Pola pendekatan yang tunggal akan menimbulkan kejenuhan siswa dalam belajar.
Dan yang tidak kalah penting adalahmemberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang konsep ilmu supaya tidak ada lagi dikotomik. Hal ini perlu diberikan
semenjak dini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
·
Pendidikan
Islam tidak dapat dispisahkan dari latar belakang sejarah terutama akulturasi,
benturan bahkan kooperatifitas masyarakat untuk berdirinya lembaga pendidikan
Islam.
·
Dampak
historis menimbulkan dikotomik dalam masyarakat termasuk masyarakat Islam, hal
ini harus diluruskan dengan mempertegas dan menelaah konsep ilmu dalam Islam.
·
Lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang sudah ada perlu dikembangkan dan ditingkatkan kualitas
dan kuantitasnya disamping sekolah-sekolah yang selama ini dianggap sekolah
menuntut adanya pengembangan dan pembinan karakter Islam yang essensisal.
B. Daftar pustaka
Azim Nanji: 2003. Peta Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka
Baru
http//berbagai macam ilmu pengetahuan kuliah sejarah pendidikan
islam
Komentar
Posting Komentar