Biografi Al-Hallaj

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Biografi Al-Hallaj

Al-Hallaj bernama lengkap Abu Al-Mughits Al-Husain bin Mansur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil diwilayah Persia, tahun 244 H/ 855 M. Masa kecilnya ia habiskan di kota Wasith dekat dengan Bagdad. Diusia 16 ia mulai meninggalkan kota Wasith untuk menuntut ilmu kepada seorang Sufi besar dan terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tusturi di Ahwaz. Dua tahun Kemudian, ia pergi ke Bashrah dan belajar kepada Amr al-Makki yang juga seorang sufi. Selanjutnya  pada tahun 264 H/878 M, ia masuk kekota Baghdad dan melanjutkan belajarnya kepada al-Junaid yang merupakan seorang sufi besar pula. Karena besar keinginannya untuk menambah  ilmu pengetahuan dan pengalamannya dalam ilmu tasawuf, ia mengembara dari satu negeri kenegeri lain untuk berguru kepada tokoh-tokoh Sufi besar dan terkenal, ia juga telah menunaikan ibadah Haji sebanyak tiga kali. Dari sini jelas tidak diragukan bahwa pengetahuan tentang ajaran-ajaran tasawuf tidak diragukan. Gelar Al-Hallaj yang diberikan kepadanya karena penghidupannya yang diperoleh dari memintal wol.[1]
         
Dari semua perjalanan dan pengembaraannya keberbagai negeri islam seperti khurasan, Ahwaz, India, Turkistan dan Mekah, Al-Hallaj telah banyak memperoleh pengikut. Ketika tiba di mekah pada tahun 897 M, ia memutuskan mencari jalan sendiri untuk bersatu dengan Tuhan, pada tahun ini bisa dikatakan al-Hallaj telah memulai pemikiran-pemikirannya tentang bagaimana menyatu dengan Tuhan. Namun setelah ia menemukan cara bersatu dengan Tuhan dan menyampaikan ajaranya kepada orang lain, ia justru dianggap sebagai orang gila, bahkan diancam oleh  penguasa Mekah untuk dibunuh, yang akhirnya ancaman tersebut membawanya untuk kembali ke Baghdad. Setelah kembali ke Baghdad tahun 296H/909 M, pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya terhadap kebobrokan-kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu.


  Dalam perjalanan hidupnya yang dihiasi buah hasil pemikiran-pemikirannya di bidang tasawuf, ia sering keluar masuk penjaran akibat  konflik dengan ulama fikih, konflik tersebut dipicu oleh pikiran-pikiran al-Hallaj yang dianggap ganjil, terutama tentang ucapannya yaitu
“ana al-haqq” yang tidak bisa dimaafkan oleh para ulama fikih dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan. Ulama fikih yang sangat besar pengaruhnya karena fatwanya untuk memberantas dan membantah ajaran-ajaran al-Hallaj  sehingga ia ditangkap dan dipenjara adalah Ibn Daud al-Isfahani. Tetapi setelah satu tahun dalam pejara, ia dapat meloloskan diri atas bantuan seorang supir penjara. Tapi empat tahun kemudian ia ditangkap kembali dikota Sus yang terletak di Ahwaz. Ia tetap tidak mengubah pendiriannya tentang ajaran-ajarannya, akhirnya ia ditangkap kembali dan dipenjarakan selama delapan tahun. Meskipun telah lama hidup dalam penjara, tidak sedikitpun terkurangi pendiriannya atas ajaran-ajarannya tersebut. Sehingga pada tahun 309 H/921 M mengharuskan para ulama di bawah pengawasan kerajaan Bani Abbas, masa Khalifah Mu’tashim Billah, untuk mengadakan persidangan yang menghasilkan hukumam mati pada al-Hallaj pada tanggal 18 Zulhijah di tahun yang sama.
        Seperti yang dijelaskan oleh Arberry, sebelum hukuman mati dilakukan, al-Hallaj dipukuli dan dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu kepalanya dipenggal. Sebelum dipancung ia meminta waktu untuk melakukan shalat dua rakaat. Setelah selesai shalat, ia disalib, yang kemudian dipotong kedua tangannya dan kakinya, dipenggal lehernya, badannya digulung dalam tikar bambu, lalu ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan bagian tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang berbeda pendirian, sungguh sangat sadis pembunuhan yang dilakukan penguasa terhadap matinya seorang sufi ternama. Kemudian dibakar tubuhnya dan abunya dihanyutkan dikota Dajlah.
Terkait kematian al-Hallaj dengan hukuman mati sudah menjadi kesepakatan bersama, namun yang sampai sekarang menjadi perdebatan adalah proses pembunuhannya dan sebab-sebab kenapa ia dibunuh, apakah ia dibunuh dengan cara disalib seperti yang digambarkan oleh Arberry, yaitu karena perbedaan paham dengan ulama fikih yang dilindungi oleh pemerintah? Jika karena hal tersebut, mengapa tokoh-tokoh sufi lain seperti Zun al-Nun al-Misri, Ibn Arabi dan lainnya tidak dijatuhi hukuman mati pula. Atau versi lain, seperti yang dijelaskan harun Nasution. Menurutnya, al-Hallaj dibunuh bukan karena perbedaan pendapat dengan ulama fikih, melainkan karena dituduh memiliki hubungan dengan gerakan Qaramitah.[2]
Jika tuduhan itu benar adanya, al-Hallaj, secara politis dan idiologis memang salah dan patut dijatuhi hukuman mati, Hal ini kiranya yang patut dipertanyakan dan layak untuk didiskusikan untuk mencari karena apa al-Hallaj dijatuhi hukuman mati.

2.2  Inti Ajaran tasawuf Al-Hallaj
Diantara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan faham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Kata al-Hulul secara bahasa yang berasal dari bentuk mashdar dari fi’il hall-yahull-hulul berarti menempati suatu tempat. Adapun secara istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu  untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan[3].
Paham Al-Hallaj didasari oleh konsep penciptaan Adam. Ia berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan : 
واذ قلنا للملائكة اسجدوا لادم فسجدوا الا ابليس ابى واستكبر وكان من الكافرين . البقرة: 34
Artinya:
 “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada adam,’ maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (Q.S. Al-Baqarah: 34)
Pada ayat diatas Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak diberi sujud hanya Allah, Al-Hllaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsur ketuhanan[4]. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadi makhluk, Tuhan melihat dzatNya sendiri dan Ia pun cinta kepada dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak. Ia mengeluarkan sesuatu yang tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adamlah Allah muncul.[5]
Teori diatas tampak dalam sya’irnya:
سُبحَانَ مَن اَظهَرَ نَاسُوتَهُ    سرّ سَنَا لَاهُوتهُ الثَاِقبِ
ثمّ بَدَا لخَلقِهِ ظَاهِرًا       فِي صُورةِ الاكلِ والشارِبِ
Artinya: “Mahasuci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membuka
rahasia Ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata.
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum”.
Melalui sya’irnya diatas, tampaknya Al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya sendiri (Lahut), dan sifat kemanusiaan (Nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri dari roh dan jasad, lahut tidak dapat  bersatu dengan manusia, kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang, seperti yang terjadi pada diri Isa.[6]
Oleh karena itu, Al-Hallaj mengatakan dalam sya’irnya yang artinya:
“Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan
dengan air suci,
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula,
Dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Aku adalah Ia yang kucintai dan Ia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang b ertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat aku, engkau lihat Ia
Dan jika engkau lihat Ia, engkau lihat kami”.

Berdasarkan sya’ir diatas dapat dipahami bahwa persatuan Tuhan dan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk Hulul. Agar bersatu, manusia harus lebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yanga ada dalam dirinya, disitulah Tuhan dapat mengambil tempatdalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhandan roh manuisa bersatudalam tubuh manusia.[7]
Menurut Al-Hallaj, pada Hulul terkandung kefanaan total kehendak manusiadalam kehendak Ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun, dilain waktu Al-Hallaj mengatakan:
“Barangsiapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifatNya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan merekapun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.[8]
Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan, dan juga tidak sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam sya’irnya  itu
انا سر الحق ماالحق انا   بل انا حق ففرق بيننا
Artinya:
“Aku adala rahasia yang Maha benar dan bukanlah yang Maha besar itu aku Aku hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami”.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Hulul yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah nyata. Karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demiian Hulul yang terjadi sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapnya sekadar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan. Seperti dalam sya’irnyaair tidak dapat menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk.
2.3 Karya–Karya Al-Hallaj
Karya Al-Hallaj yang dicatat oleh Ibn Nadim ada kurang lebih 48 buah, yaitu:
1. Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah
2. Kitab Al Ushul wal Furu’
3. Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts
4. Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid, wat tauhi
5. Kitab ‘Ilmul Baqa wal fana
6. Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa
7. Kitab “Hua, Hua”
8. Kitab At Thawwasin.

Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting diantara 48 kitab itu, dan yang tersebut ini “At-Thawwasin” telah dicetak kembali, dan ada salinannya dalam bahasa Persia. Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan, kitab-kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.[9]
Tidak hanya kitab-kitabnya yang dimusnahkan, namun juga ajaran dari al-Hallaj itu sudah tidak ada hingga saat ini setelah ia dihukum mati. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa ajaran al-Hallaj itu sama seperti ajaran yang dibawa oleh syaikh Siti Jenar yang merupakan salah seorang tokoh sufi di Indonesia.




BAB III
PENUTUP
1.1     Kesimpulan

ü Al-Hallaj adalah seorang sufi yang bernama lengkap Abu Al-Mughits Al-Husain bin Mansur bin Muhammad Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil diwilayah Persia, tahun 244 H/ 855 M.

ü Diantara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan faham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.

ü Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan (hulul). Paham Al-Hallaj didasari oleh konsep penciptaan Adam. Ia berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan.

ü Karya Al-Hallaj yang dicatat oleh Ibn Nadim ada kurang lebih 48 buah, dan kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan, kitab-kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah kitab yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.



DAFTAR PUSTAKA

 M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008 Abdul Sabur, Saleh, Tragedi A-l-Hallaj, Pustaka, Bandung, 1976,hlm.viii.
 Nasution, Harun, Filsafat dan mistisime,,, hlm. 78.
 Mahmud,  Abdul Qadir, Al-Fikr Al- Islami wa Al-Falsafah Al-Mu’aridhah fi Al-Qadim wa Al-Hadits, Ha’iah Al-  Mishriyyah Al-‘Ammah li Al-Kitab, 1986, hlm 77-78
Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Hlm: 125

http://AKADEMISI.Blogspot.com/ al-Hulul al-Hallaj bagian ajaran sufi dalam tasawuf.htm





[1] Saleh Abdul Sabur, Tragedi A-l-Hallaj, Pustaka, Bandung, 1976,hlm.viii.
[2] Qaramitah adalah suatu sekte Syi’ah yang dibentuk oleh Hamdan ibn Qarmat di akhir abab IX M. sekte ini memiliki paham komunis (harta benda dan perempuan terdiri dari kaum petani milik bersama), mengadakan terror, menyerang Mekah di tahun 930 M, merampas hajar aswad yang dikembalikan kaum Fatimi di tahun 951 M dan menentang pemerintah Bani Abbas, mulai dari abab X sampai abab XI. Ibid., 244.
[3] Nasution, Filsafat dan mistisime,,,,,hlm. 78.
[4] Abdul Qadir Mahmud, Al-Fikr Al- Islami wa Al-Falsafah Al-Mu’aridhah fi Al-Qadim wa Al-Hadits, Ha’iah Al-  MishriyyahAl-‘Ammah li Al-Kitab, 1986, hlm 77-78
[5] Nasution, Filsafat dan Mistisisme.............hlm. 88.
[6] Ibid, hlm. 88-89
[7] Ibid. Hlm. 89
[8] Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman. Hlm: 125
[9] Gazur,2002: 33

Komentar

Postingan Populer