Psikologi Krisis Ahlak dan Moral di KalanganRemaja
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Permasalahan
Peserta
didik merupakan aset utama dalam misi memajukan bangsa. Mereka perlu didik
dengan benar supaya tidak menjadi generasi penerus yang salah kaprah.
Pendidikan yang diberikan tidak hanya dalam lingkup akademik namun mendidik
disini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian yang sesuai dengan norma hukum
dan agama. Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISDIKNAS), Bab II Pasal 4, dijelaskan bahwa: ”Pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan bangsa”1. Ini merupakan salah satu dasar dan tujuan dari pendidikan
nasional yang seharusnya menjadi acuan bangsa Indonesia. Dipasal tersebut juga
membahas tentang tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Maka dari itu diperlukan pengembangan
moral dan religius pada peserta didik. Ditambah lagi dengan semakin menurunnya
moral dan akhlak remaja masa kini yang ditandai dengan aksi anarkis, penggunaan
narkoba, free sex, dan pornografi sehingga urgensi pengembangan moral dan agama
harus lebih ditekankan dalam lingkup pendidikan.
1.2
Rumusan dan Pertanyaan
1.
Apa penyebab akhlak dan moral remaja masa kini semakin menurun?
2.
Apa saja karakteristik pengembangan moral dan religi pada peserta didik?
3.
Apa faktor-faktor pengembangan moral dan religi pada peserta didik?
4.
Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan moral dan religi pada
peserta didik?
5.
Bagaimana implikasi perkembangan peserta didik terhadap pendidikan?
1.3
Tujuan dan Manfaat Pembahasan
Tujuan
pembahasan mengenai karakteristik pengembangan moral dan religi pada peserta
didik yaitu
·
Mengetahui penyebab akhlak dan moral remaja masa kini semakin menurun
·
Mengetahui apa saja yang termasuk karakteristik pengembangan moral dan religi
peserta didik.
·
Mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral dan
religi peserta didik.
·
Mengetahui dan dapat mengaplikasikan upaya pengembangan moral dan religi
peserta didik di ruang lingkup pendidikan.
BAB
II
TINJAUAN
TEORETIS
2.1
Penyebab Timbulnya Krisis Akhlak dan Moral dikalangan Remaja
Adapun
yang menjadi akar masalah penyebab timbulnya krisis akhlak dan moral dalam diri
banyak remaja diantaranya adalah:
Pertama,
krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama yang
menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam (self control). Selanjutnya
alat pengontrol perpindahan kepada hukum dan masyarakat. Namun karena hukum dan
masyarakat juga sudah lemah, maka hilanglah seluruh alat kontrol. Akibatnya
manusia dapat berbuat sesuka hati dalam melakukan pelanggaran tanpa ada yang
menegur.
Kedua,
krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang tua, sekolah
dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggungjawab pelaksanaan
pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat dan pemerintah. Ketiga
institusi pendidikan sudah terbawa oleh arus kehidupan yang mengutamakan materi
tanpa diimbangi dengan pembinaan mental spiritual.
Ketiga,
krisis akhlak terjadi karena derasnya arus budaya hidup materialistik,
hedonistik dan sekularistik. Derasnya arus budaya yang demikian didukung oleh
para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan
memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan akhlak
para generasi penerus bangsa.
Keempat,
krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari
pemerintah. Kekuasaan, dana, tekhnologi, sumber daya manusia, peluang dan
sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak digunakan untuk melakukan
pembinaan akhlak bangsa. Hal yang demikian semakin diperparah dengan ulah
sebagian elite politik penguasa yang sematamata mengejar kedudukan, kekayaan
dan sebagainya dengan cara-cara yang tidak mendidik, sepeati adanya praktek
korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal yang demikian terjadi mengingat bangsa
Indonesia masih menerapkan pola hidup paternalistic
2.2
Karakteristik Perkembangan Moral dan Religius Anak dan Remaja
Berikut
ini paparan mengenai karakteristik perkembangan moralitas dan religius anak dan
remaja:
1.
Karakteristik perkembangan moralitas pada anak
Menurut
Lawrance Kohlberg, ada tiga tingkat dan tahapan karakteristik perkembangan
moralitas pada anak, yaitu moralitas dengan paksaan (preconventional level),
moralitas dari aturan-aturan (conventional level), dan moralitas setelah
konvensional (postconventional).
2.
Karakteristik perkembangan moralitas pada remaja
Dalam
moralitas terdapat nilia-nilai moral, yaitu seruan untuk berbuat baik dan
larangan berbuat keburukan. Seseorang dikatakan bermoral apabila tingkah laku
orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi. Pada masa
remaja, individu tersebut harus mengendalikan perilakunya sendiri agar sesuai
dengan norma dan nilai yang berlaku dimasnyarakat, yang mana sebelumnya menjadi
tanggung jawab guru dan orang tua.
3.
Karakteristik perkembangan religius pada anak
Penanaman
nilai-nilai keagamaan; menyangkut konsep tentang ketuhanan, ritual ibadah dan
nilai moral yang berlangsung semenjak usia dini, akan mampu mengakar secara
kuat dan membawa dampak yang signifikan pada diri seseorang sepanjang hidupnya
(Hurlock, 1978, hal.26). hal ini dikarenakan pada masa ini, anak belum mempunyai
kemampuan menolak ataupun menyetujui setiap pengetahuan yang didapatkannya.
Tahapan-tahapan perkembangan keagamaan pada anak :
1.
Masa anak-anak
a.
Sikap keagamaan reseptif meskipun banyak bertanya
b.
Pandangan ke-Tuhanan yang anthromorph (dipersonifikasikan)
c.
Penghayatan secara rohaniah masih superficial (belum dalam)
2.
Masa anak sekolah
a.
Sikap keagamaan bersifat reseptif dan disertai pengertian
b.
Pandangan ke-Tuhanan diterangkan secara rasional
c.
Penghayatan secara rohaniah makin mendalam
4.
Karakteristik perkembangan religius pada remaja
Perkembangan religius remaja tergantung bagaimana dan apa yang diperolehnya
sejak masa anak-anak. Umumnya, apabila pendidikan agama yang diberikan kuat
maka perkembangan religius remaja akan menjadi positif dan boleh jadi semakin
kuat. Begitu pula sebaliknya, apabila terdapat banyak kerancuan pemahaman
terhadap keagamaan, maka perkembangan religius remaja tersebut akan terganggu.
Pada masa remaja, keagamaan sama pentingnya dengan moral.
Ahli umum (Zakiah, Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada
garis besarnya perkembangan keagamaan itu dibagi dalam dua tahapan yang secara
kualitatif menunjukan karakteristik yang berbeda.
1.
Masa remaja awal
a.
Sikap negative disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan
orang-orang yang beragama secara hipocrit.
b.
Pandangan dalam ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau
mendengar berbagai konsep dan pemikiran yang tidak cocok
c.
Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic, sehingga banyak yang enggan
melakukan berbagai kegiatan ritual
2.
Masa remaja akhir
a.
Sikap kembali pada umumnya kearah positif dengan tercapainya kedewasaan
intelektual
b.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkan dalam hal konteks agama yang
dianutnya
c.
Penghayatan rohaniahnya kembali tenang
2.3
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral dan Spiritual
Berdasarkan
sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi
melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model.
Bagi
para ahli psikoanalisis, perkembangan moral dipandang sebagai proses
internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari
sudut organik biologis. Menurut psikoanalisis, moral dan nilai menyatu dalam
konsep superego yang dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan
atau perintah-perintah yang datang dari luar (khususnya orang tua) sedemikian
rupa, sehingga akhirnya terpencar dari dalam diri sendiri.
Teori-teori
lain yang non psikoanalisi beranggapan bahwa hubungan anak-orang tua bukan
satu-satunya sarana pembentukan moral. Para sosiolog beranggapan bahwa
masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral.
Dalam
usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup terterntu,
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral religi dan peserta didik,
diantaranya yaitu:
1.
Faktor tingkat harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2.
Faktor seberapa banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman,
orang-orang yang terkenal dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak
sebagai gambaran-gambaran ideal.
3.
Faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara segala segala unsur
lingkungan social yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsure
lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang
sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
4.
Faktor selanjutnya yang memengaruhi perkembangan moral adalah tingkat
penalaran. Perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg,
dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin
tinggi tingkat penalaran seseorang menrut tahap-tahap perkembangan piaget,
makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
5.
Faktor Interaksi sosial dalam memberi kesepakatan pada anak untuk mempelajari
dan menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah,
dan dalam pergaulan dengan orang lain.
2.4
Upaya Optimalisasi Perkembangan Moral dan Spiritual
Hurlock
mengemukakan ada empat pokok utama yang perlu dipelajari oleh anak dalam
mengoptimalkan perkembangan moralnya, yaitu :
1.
Mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana
dicantumkan dalam hukum. Harapan tersebut terperinci dalam bentuk hukum,
kebiasaan dan peraturan. Tindakan tertentu yang dianggap “benar” atau “salah”
karena tindakan itu menunjang, atau dianggap tidak menunjang, atau menghalangi
kesejahteraan anggota kelompok. Kebiasaan yang paling penting dibakukan menjadi
peraturan hukum dengan hukuman tertentu bagi yang melanggarnya. Yang lainnya,
bertahan sebagai kebiasaan tanpa hukuman tertentu bagi yang melanggarnya.
2.
Pengambangan hati nuranni sebagai kendali internal bagi perliaku
individu. Hati nurani merupakan tanggapan terkondisikan terhadap kecemasan
mengenai beberapa situasi dan tindakan tertentu, yang telah dikembangkan dengan
mengasosiasikan tindakan agresif dengan hukum.
3.
Pengembangan perasaan bersalah dan rasa malu. Setelah mengembangkan hati nurani,
hati nurani mereka dibawa dan digunakan sebagai pedoman perilaku. Rasa bersalah
adalah sejenis evaluasi diri, khusus terjadi bila seorang individu mengakui
perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi.
Rasa malu adalah reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang timbul pada
seseorang akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Penilaian ini belum
tentu benar-benar ada, namun mengakibatkan rasa rendah diri terhadap
kelompoknya.
4.
Mencontohkan, memberikan contoh berarti menjadi model perilaku yang diinginkan
muncul dari anak, karena cara ini bisa menjadi cara yang paling efektif untuk
membentuk moral anak.
5.
Latihan dan Pembiasaan, menurut Robert Coles (Wantah, 2005) latihan dan
pembiasaan merupakan strategi penting dalam pembentukan perilaku moral pada
anak usia dini. Sikap orang tua dapat dijadikan latihan dan pembiasaan bagi
anak. Sejak kecil orang tua selalu merawat, memelihara, menjaga kesehatan dan
lain sebagainya untuk anak. Hal ini akan mengajarkan moral yang positif bagi
anak
6.
Kesempatan melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Interaksi sosial
memegang peranan penting dalam perkembangan moral. Tanpa interaksi dengan orang
lain, anak tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui secara social, maupun
memiliki sumber motivasi yang mendorongnya untuk tidak berbuat sesuka hati.
Interaksi
sosial awal terjadi didalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orang tua,
saudara kandung, dan anggota keluarga lain tentang apa yang dianggap benar dan
salah oleh kelompok sosial tersebut. Disini anak memperoleh motivasi yanjg
diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang ditetapkan anggota keluarga.
Melalui
interaksi sosial, anak tidak saja mempunyai kesempatan untuk belajar kode
moral, tetap mereka juga mendapat kesempatan untuk belajar bagaimana orang lain
mengevaluasi perilaku mereka. Karena pengaruh yang kuat dari kelompok sosial
pada perkembangan moral anak, penting sekali jika kelompok sosial, tempat anak
mengidentifikasikan dirinya mempunyai standar moral yang sesuai dengan kelompok
sosial yang lebih besar dalam masyarakat.
2.5
Implikasi Perkembangan Peserta Didik terhadap Pendidikan
Manusia
pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya. Perkembangan tersebut
dimulai sejak masa konsepsi hingga akhir hayat. Ketika individu memasuki usia
sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua belas tahun, individu dimaksud
sudah dapat disebut sebagai peserta didik yang akan berhubungan dengan proses
pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan.
Cara
pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan per-kembangan anak,
yakni memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) programnya disusun secara
fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak; (2)
tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak
aktivitas; dan (3) melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar
sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan berbagai
proses perkembangannya (Amin Budiamin, dkk., 2009:84).
Aspek-aspek
perkembangan peserta didik yang berimplikasi terhadap proses pendidikan melalui
karakteristik perkembangan moral dan religi akan diuraikan seperti di bawah
ini.
1. Implikasi
Perkembangan Moral
Purwanto
berpendapat, moral bukan hanya memiliki arti bertingkah laku sopan santun,
bertindak dengan lemah lembut, dan berbakti kepada orang tua saja, melainkan
lebih luas lagi dari itu. Selalu berkata jujur, bertindak konsekuen,
bertanggung jawab, cinta bangsa dan sesama manusia, mengabdi kepada rakyat dan
negara, berkemauan keras, berperasaan halus, dan sebagainya, termasuk pula ke
dalam moral yang perlu dikembangkan dan ditanamkan dalam hati sanubari
anak-anak.
Adapun
perkembangan moral menurut Santrock yaitu perkembangan yang berkaitan dengan
aturan mengenai hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya
dengan orang lain (Desmita, 2008:149).
Perkembangan
moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, salah satunya melalui
pendidikan langsung, seperti diungkapkan oleh Yusuf (2005:134). Pendidikan
langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang
benar-salah atau baik-buruk oleh orang tua dan gurunya.
Selanjutnya
masih menurut Yusuf (2005:182), pada usia sekolah dasar anak sudah dapat
mengikuti tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia
ini, anak dapat memahami alasan yang mendasari suatu bentuk perilaku dengan
konsep baik-buruk. Misalnya, dia memandang bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan
tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang buruk. Sedangkan
perbuatan jujur, adil, dan sikap hormat kepada orang tua merupakan suatu hal
yang baik.
Selain
pemaparan di atas, Piaget (Hurlock, 1980:163) memaparkan bahwa usia antara lima
sampai dengan dua belas tahun konsep anak mengenai moral sudah berubah.
Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah yang dipelajari dari
orang tua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan
khusus di sekitar pelanggaran moral. Misalnya bagi anak usia lima tahun, berbohong
selalu buruk. Sedangkan anak yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa
situasi, berbohong dibenarkan. Oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
Selain
lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan juga menjadi wahana yang kondusif
bagi pertumbuhan dan perkembangan moral peserta didik. Untuk itu, sekolah
diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan
sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan moral dan segala aspek
kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan moral di kelas hendaknya dihubungkan
dengan kehidupan yang ada di luar kelas. Dengan demikian, pembinaan
perkembangan moral peserta didik sangat penting karena percuma saja jika
mendidik anak-anak hanya untuk menjadi orang yang berilmu pengetahuan, tetapi
jiwa dan wataknya tidak dibangun dan dibina.
2. Implikasi
Perkembangan Spiritual
Anak-anak
sebenarnya telah memiliki dasar-dasar kemampuan spiritual yang dibawanya sejak
lahir. Untuk mengembangkan kemampuan ini, pendidikan mempunyai peranan yang
sangat penting. Oleh karena itu, untuk melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi
dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada perkembangan aspek IQ
saja, melainkan EQ dan SQ juga.
Zohar
dan Marshall (Desmita, 2008:174) pertama kali meneliti secara ilmiah tentang
kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai, yang menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Purwanto
(2006:9) mengemukakan bahwa pendidikan yang dilakukan terhadap manusia berbeda
dengan “pendidikan” yang dilakukan terhadap binatang. Menurutnya, pendidikan
pada manusia tidak terletak pada perkem-bangan biologis saja, yaitu yang
berhubungan dengan perkembangan jasmani. Akan tetapi, pendidikan pada manusia
harus diperhitungkan pula perkembangan rohaninya. Itulah kelebihan manusia yang
diberikan oleh Allah Swt., yaitu dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan)
untuk mengenal penciptanya, yang membedakan antara manusia dengan binatang.
Fitrah ini berkaitan dengan aspek spiritual.
Berkaitan
dengan perkembangan spiritual yang membawa banyak implikasi terhadap
pendidikan, diharapkan muncul manusia yang benar-benar utuh dari
lembaga-lembaga pendidikan. Untuk itu, pendidikan agama nampaknya harus tetap
dipertahankan sebagai bagian penting dari program-program pendidikan yang
diberikan di sekolah dasar. Tanpa melalui pendidikan agama, mustahil SQ dapat
berkembang baik dalam diri peserta didik.
BAB
III
ANALISIS
3.1
Analisis Teoretis
Usia
transisi yang dialami remaja cenderung membawa dampak psikologis disamping
membawa dampak fisiologis, dimana perilaku mereka cenderung berfikir pendek dan
ingin cepa dalam memecahkan berbagai permasalahan kehidupan. Namun, tidak
sedikit jalan yang ditempuh adalah jawan yang sesat dan mengandung risiko.
Karena proses berfikir seperti itu, remaja tidak mampu lagi membedakan hal baik
dan hal buruk untuk dijadikan acuan prilaku yang sesuai dengan perintah dan
larangan agama yang dianutnya. Selain itu remaja cenderung menutupi eksistensi
kehidupannya dengan mengabaikan ajaran agama yang dianutnya dan nilai normatif
yang ditanamkan pada dirinya dalam menyelesaikan persoalan.
Dengan
kondisi prilaku remaja tersebut, seringkali mereka mengalami kegagalan dalam
menjalani pemulihan dan tidak mampu lagi membankitkan kesadaran spiritual.
Sesungguhnya, kesadaran dan kekuatan spiritual akan diperoleh jika remaja
mendekatkan dirinya dengan ketaatan dan amaliyah ibadah kepada Tuhannya ketika
dihadapkan pada berbagai persoalan hidupnya.
Hubungan
spiritual manusia dengan Rabbnya ketika beribadah akan memunculkan kekuatan
spiritualnya berupa limpahan Illahiah atau ketika spiritual berupa al-hikmah.
Tekadnya bertambah kuat, kemauannya semakin keras, dan semangatnya kian
meningkat sehingga ia pun lebih memiliki kesiapan untuk menerima ilmu
pengetahuan atau hikmah
Hikmah
merupakan karunia Allah berupa pemahaman ma’rifat Allah. Hikmah dapat menambah
kemuliaan atau mengangkat (derajat) manusia sebagai hamba-Nya. Pemiliknya akan
mencerminkan ciri-ciri para Nabi yang ada pada mereka. Hikmah yang milikinya
akan menuntun dirinya kepada kemaslahatan yang tepat dalam melaksanakan semua
aktivitas dan perbuatan sehari-hari sehingga mampu mencegah dan menjaga diri
dari akhlak-akhlak yang tidak diridhoi-Nya. Karena itu hikmah tidak dianugerahkan
kedapa setiap orang, akan tetapi terlahir dari sejumlah faktor dan sebab yang
merupakan fadhilah dan nikmat dari Allah.
Faktor
meraih hikmah ialah, meliputi :
a.
Berdasarkan ilmu syariat;
b.
Ikhlas;
c.
Syukur dan sabar; dan
d.
Berdoa dan tawakal
Sedangkan
faktor penghalang ibadah meliputi :
a.
Hawa nafsu;
b.
Kebodohan;
c.
Kesombongan; dan
d.
Keras dan kasar (Nashir, 1995:19)
3.2
Analisis Praktis
Kajian
yang dilaksanakan terhadap sebuah pembalajaran yang berguna untuk meneliti
struktur atau tingkat kesulitan dari pembelajaran yang disajikan dengan cara
mendalam, sederhana, tidak rumit dan mudah dilakukan atau dilaksanakan. Tidak
hanya menganalisis masalah materi pembelajaran saja tapi meliputi karakteristik
dari peserta didik misalnya sikap sopan santun, meberi salam, dan saling tegur
sapa di dalam proses pembelajaran maupun diluar jam pelajaran. Saling
menghormati antar peserta didik dan dengan pengajar maupun antar peserta didik.
Selain itu bekali nilai-nilai religi memperdalam agama dan kepercayaan
masing-masing agar terbentuk akhlak dan perilaku yang baik pada peserta didik.
Tujuan dari analisis praktis dalam perkembangan peserta didik untuk menelaah
dan mengetahui karakteristik dan masalah yang dihadapi perserta didik yang
perlu diangkat dalam pengembangan pangkat pembelajaran.
Nasihat
yang diberikanpun bukan sekedar proses memberikan pertolongan dan dukungan
sosial saja, tetapi juga harus merujuk dengan Maha Penciptanya, yakni Allah
swt. Nasihat yang diberikan diarahkan untuk mengembalikan keimanan dan
ketakwaan serta religius, yang akan membawa pada eksistensi dirinya dan dapat
menemukan citra dirinya, sesuai dengan kebenaran yang hakiki dan kemenangan
yang abadi untuk meraih kebahagiaan kehidupan yang hakiki.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN REKOMENDASI
4.1.
Kesimpulan
Perkembangan
religius remaja tergantung bagaimana dan apa yang diperolehnya sejak masa
anak-anak. Umumnya, apabila pendidikan agama yang diberikan kuat maka
perkembangan religius remaja akan menjadi positif dan boleh jadi semakin kuat.
Begitu pula sebaliknya, apabila terdapat banyak kerancuan pemahaman terhadap
keagamaan, maka perkembangan religius remaja tersebut akan terganggu. Pada masa
remaja, keagamaan sama pentingnya dengan moral.
4.2.
Rekomendasi
Karakteristik
perkembangan moral dan religi pada peserta didik sangat penting diterapkan
dalam lingkup pendidikan mengingat perkembangan zaman dan moderenisasi yang
membuat moral generasi muda semakin terperosok.
4.2.1
Untuk Dosen atau Guru
Guru
berperan tidak hanya memberikan pendidikan dalam bidang akademis saja namun
juga mendidik dalam membentuk kepribadian anak. Maka dari itu diperlukan metode
mengajar yang tidak monoton. Perlu adanya dorongan motivasi pada anak juga
paparan mengenai tindakan-tindakan yang baik dalam bentuk cerita. Menghukum
anak terlalu berat pun berpotensi anak semakin tidak suka pada mata pelajaran
yang diajarkan bahkan pada sosok guru tersebut.
4.2.2
Untuk Orang tua
Lingkungan
keluarga sangat berpengaruh dalam perkembangan moral dan spiritual anak. Untuk
itu perlu diciptakan kehidupan keluarga yang harmonis mengingat anak akan
selalu merekam apa yang terjadi dalam keluarganya. Disini peran orang tua
sangat dibutuhkan karena tingkah laku orang tua merupakan cerminan dari prilaku
anaknya kelak. Untuk membangun moral anak, maka orang tua harus selalu
memberikan perhatian dan dukungan untuk anaknya namun juga harus bisa bersikap
tegas dalam menangani permasalahan anak.
DAFTAR
PUSTAKA
Baharuddin.2009.
Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
http://newijayanto.blogspot.com/2011/12/karakteristik-perkembangan-moralitas.html
Komentar
Posting Komentar