Pengembangan madrasah ibtidaiiyah
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
............................................................................. i
DAFTAR ISI
........................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
....................................................................... 1
BAB II ANALISA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI SINGAPUR
….. 2
1. Bagaimana keadaan geografis negara
Singapura? ............... 2
2. Bagaimana sejarah masuknya islam di Singapura?
…………… 2
3. Bagaimana proses perkembangan islam di
Singapura? ……… 3
4. Apa
Problematika Pendidikan Melayu Muslim di Singapura? .. 4
5. Apa peran
serta Madrasah, Masjid, dan LSM di Singapura? …. 7
6. Madrasah di Singapura Berkurikulum
Moderen …………………. 8
7. Singapura Sebagai Negara Dengan Sistem Pendidikan
Terbaikdi ASEAN …………………………………………..……......... 10
8. Analisa .……………………………………………………………………. 11
BAB III PENUTUP ……………………………………………….………………. 12
A. Kesimpulan
B. Penutup
Daftar Pustaka
……………………………………………………………………. 13
ii
ANALISA
FILOSOFIS TERHADAP PENYELENGGARAAN MADRASAH IBTIDAIYAH
PENGEMBANGAN
MADRASAH
A.
PENDAHULUAN
Lembaga
pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada sejak agama Islam berkembang di
Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat
(umat) yang didasari oleh tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada
generasi penerus. Oleh karena itu madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada
pendalaman ilmu-ilmu Islam.[1]
Kemudian
posisi ilmu umum terus menguasai searah perkembangan kehidupan umat Islam dan
masyarakat Indonesia. Madrasah itu kini disebut sekolah umum berciri khas
agama, di mana ilmu agama hanya menjadi bagian kecil kurikulum lembaga ini.
Kemudian
dalam makalah ini, kami akan menjelaskan lebih lanjut tentang pengembangan
madrasah yaitu tentang madrasah setelah kemerdekaan, pengembangan kualitas
madrasah, dan pengembangan kurikulum madrasah.
B.
PEMBAHASAN
1.
Madrasah Setelah Kemerdekaan
Di Indonesia madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam dalam proses
pengembangannya telah mengalami strategi pengelolaan dengan tujuan yang berubah
disesuaikan dengan tuntutan zaman. Pada zaman sebelum kemerdekaan, madrasah
dikelola untuk tujuan idealisme ukhrawi semata, yang mengabaikan tujuan hidup
duniawi.
Akibatnya, dalam kehidupan kewarganegaraan, timbullah perbedaan kualitas hidup
warga negara Indonesia antara pihak produk pendidikan sekolah umum yang
bercorak sekuler, dengan pihak produk dari pendidikan madrasah yang
berorientasi pada kehidupan ukhrawi semata.
Oleh karena itu seiring dengan tuntutan kemajuan masyarakat setelah proklamasi
kemerdekaan 1945, Madrasah yang eksistensinya tetap dipertahankan dalam
masyarakat bangsa, diusahakan agar strategi pengelolaannya semakin mendekati
sistem pengelolaan sekolah umum; bahkan secara pragmatis semakin terintegrasi
dengan program kependidikan di sekolah umum. Sebaliknya, sekolah umum harus
semakin dekat kepada pendidikan agama.[2]
Usaha ini dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat
Indonesia pada saat itu. Serta strategi pengelolaan madrasah tersebut mendorong
ke arah posisi yang menguntungkan bagi masa depan perkembangannya.
Akan tetapi pengelolaan ini juga masih ada kelemahannya, diantaranya kurang
efektifnya pendidikan agama dan bahasa Arab, jika lulusannya dijadikan input
bagi mahasiswa IAIN, disamping kekurangan kualitas lulusan untuk input
universitas umum.
2.
Pengembangan Kualitas Madrasah
Pada
proses pengembangannya, pengurusan tentang penyelenggaraan sekolah-sekolah
agama termasuk madrasah menjadi tanggung jawab dan wewenang Departemen Agama.
Adapun usaha-usaha pemeritah untuk meningkatkan pembinaan madrasah baik
kualitas maupun kuantitasnya dilakukan dalam bidang sebagai berikut :
1.
Pembinaan Deversifikasi Kelembagaan
Madrasah, diantaranya yaitu didirikannya Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada
tahun 1958 yang berlangsung selama 8 tahun dengan materi pelajaran agama, umum
dan keterampilan dalam bidang ekonomi, industrialisasi dan transmigrasi.[3]
2.
Penegrian Madrasah, yakni dengan
menegrikan Sekolah Rakyat Islam (SRI) menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri
sebanyak 235 pada tahun 1962 berdasarkan keputusan Menteri Agama No. 104 tahun
1962.[4] Pemerintah menegrikan beberapa
madrasah swasta tetapi dengan seleksi yang ketat dengan memprioritaskan pada
madrasah yang secara keseluruhan masih memerlukan intervensi pemerintah.[5]
3.
Pembinaan pendidikan dan
pengajaran, meliputi bidang-bidang kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana,
pengawasan dan lain-lain terhadap Madrasah Negeri dan Swasta. Ada juga
usaha-usaha peningkatan tamatan madrasah dengan digulirnya SKB 3 Menteri (Surat
Keputusan Bersama 3 Menteri) yaitu menteri agama, menteri keagamaan dan
kebudayaan dan menteri dalam negeri yang berisi :
1)
Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum.
2)
Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum.
Akan tetapi
meskipun madrasah telah dibina oleh pemerintah, lembaga pendidikan ini tetap
gigih dalam mengembangkannya dan bekerja sama dengan pemerintah.
3.
Pengembangan Kurikulum Madrasah
Berbagai
upaya untuk meningkatkan kualitas madrasah terus digulirkan, begitu juga usaha
menuju ke kesatuan sistem pendidikan nasional dalam rangka pembinaan semakin
ditingkatkan. Usaha tersebut mulai terealisasi, terutama dengan dikeluarkannya
SKB 3 Menteri. Di antara pengembangan kurikulum di madrasah yaitu :
1.
Kurikulum 1976 berdasarkan SKB 3
Menteri.
Berdasarkan
SKB 3 Menteri tersebut, yang dimaksud dengan madrasah ialah lembaga pendidikan
yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang
diberikan sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran umum. Madrasah dalam
hal ini memiliki tiga jenjang atau tingkatan; Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah
yang masing-masing sejajar dengan SD, SMP dan SMA.[7]
1. Kurikulum
1984 berdasarkan SKB 2 Menteri
Menindak
lanjuti SKB 3 Menteri, dikeluarkan lagi SKB Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dengan Menteri Agama No. 299/U/1984 dan No. 45 tahun 1984, tentang
Peraturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah.
Dari sini
lahirlah kurikulum 1984, yang memuat hal strategis sebagai berikut :
a)
Program kegiatan kurikulum madrasah (MI, MTS, MA) tahun 1984 dilakukan melalui
kegiatan intra kurikuler, ko kurikuler dan ekstra kurikuler, baik dalam program
inti maupun program pilihan.
b)
Proses belajar mengaj
رar
dilaksanakan dengan memperhatikan keserasian antara cara seseorang belajar dan
apa yang dipelajari.
c)
Penilaian dilakukan secara kesinambungan dan menyeluruh untuk keperluan
meningkatkan proses dan hasil belajar serta pengolahan program.[8]
2. Kurikulum
1994
Kurikilum
1994 dirancang dan dikembangkan dengan cepat dan penuh pertimbangan, dengan
menekan sekecil mungkin kelemahan yang terdapat pada kurikulum sebelumnya,
terutama pada syaratnya bukan pelajaran yang ditaggung siswa dan orientasinya
yang menekankan pada target hasil belajar bukan pada proses pembelajarannya.
Pada
kurikulum 1994, guru diberi wewenang untuk berimprovisasi dengan kurikulum yang
sudah disusun. Guru leluasa mengatur alokasi waktu dalam mengajarkan setiap
pokok bahasan atau subpokok sesuai dengan kebutuhan. Guru pun diberi kewenangan
dalam menentukan metode, penilaian, dan sarana pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan, sehingga siswa aktif dalam pembelajaran, baik fisik, mental
(intelektual dan emosional), maupun sosial.[9]
3.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
KBK
dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada
pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar
performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik
berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu.[10]
1.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP)
KTSP
dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sosial/ daerah,
karakteristik sekolah/ daerah, sesuai budaya masyarakat setempat dan
karakteristik peserta didik.[11]
Upaya
pengembangan dan peningkatan mutu bagi madrasah terus dikembangkan sesuai
dengan tuntutan zaman yang ditandai dengan majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka madrasah pun tidak mau ketinggalan.
Akan
tetapi pada dasarnya dari berbagai pengembangan kurikulum yang ada, pendidikan
agama Islam yang pada awalnya merupakan ciri khas dari madrasah itu sendiri
yang tetap menduduki porsi lebih sedikit dibandingkan pendidikan umum.
C.
PENUTUP
Keberadaan
madrasah sejak Indonesia merdeka sampai sekarang pada hakikatnya adalah
kelanjutan dari keberadaan madrasah sejak awal berdirinya. Perbedaan utama
tentang keberadaan madrasah di zaman ini terletak pada perhatian pemerintah
yang sangat tinggi terhadap usaha peningkatan kualitas dan kuantitas madrasah
baik negeri maupun swasta.
Madrasah
terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman, seperti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui proses perubahan kurikulum dari tahun ke
tahun.
REFERENSI
Aly, Abdullah
& Djamaluddin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka
Setia, 1998
Arifin, M, Kapita
Selekta Pendidikan: (Islam dan Umum), Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Daulay, Hardar
Putra, Historis Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 2001
Nata, Abudin, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Grafindo, 2001
Khozin, Jejak-Jejak
Pendidikan Islam di Indonesia, Malang: UMM Press, 2006
Hasbullah, Kapita
Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1999
Mulyasa, E, Kurikulum
Berbasis Kompetensi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002
Mulyasa, E, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007
[1] Djamaluddin & Abdullah Aly, Kapita
Selekta Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 23.
[2] M. Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan : (Islam dan Umum) (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 109.
[3] Hardar Putra Daulay, Historis
Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2001), 75.
[4] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta:
Grafindo, 2001), 206.
[5] Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan
Islam di Indonesia (Malang: UMM Press, 2006), 122.
[6] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan……,206.
[7] Hasbullah, Kapita Selekta
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999),
74.
[8] Ibid, 77.
[9] Ibid, 80.
[10] E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis
Kompetensi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 37.
.
A.
PENDAHULUAN
Lembaga
pendidikan dalam bentuk madrasah sudah ada sejak agama Islam berkembang di
Indonesia. Madrasah itu tumbuh dan berkembang dari bawah, dalam arti masyarakat
(umat) yang didasari oleh tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran Islam kepada
generasi penerus. Oleh karena itu madrasah pada waktu itu lebih ditekankan pada
pendalaman ilmu-ilmu Islam.[1]
Kemudian
posisi ilmu umum terus menguasai searah perkembangan kehidupan umat Islam dan
masyarakat Indonesia. Madrasah itu kini disebut sekolah umum berciri khas
agama, di mana ilmu agama hanya menjadi bagian kecil kurikulum lembaga ini.
Kemudian
dalam makalah ini, kami akan menjelaskan lebih lanjut tentang pengembangan
madrasah yaitu tentang madrasah setelah kemerdekaan, pengembangan kualitas
madrasah, dan pengembangan kurikulum madrasah.
Manajemen
Madrasah Ibtidaiyah (MI)
A.
Konsep Manajemen MI
Secara
konseptual –filosofis pendidikan digali dari identitas, karakteristik dan
khazanah budaya yang dimilikinya sehingga pendidikan yang diterapkan tidak
keluar dari akar sejarahnya.
1. Pengertian dan Sejarah
Madrasah
Kata
"madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata
"keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa".
Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat
belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran".
Madrasah merupakan isim makan dari katab darasa yang berarti tempat duduk untuk
belajar. Istilah madrasah ini sekarang telah menyatu dengan istilah sekolah
atau perguruan (terutama perguruan Islam). Karenanya istilah madrasah tidak
hanya diartikan sekolah dalam arti sempit tetapi juga bisa dimaknai rumah, istana,
kuttab, perpustakaan, surau, masjid, dan lain-lain. Bahkan juga seorang ibu
bisa dikatakan sebagai madrasah pemula.[1]
Lembaga
pendidikan madrasah telah di kenal di timur tengah hanya saja pendidikan pada
saat itu sebagai pendidikan keilmuan tingkat tinggi, Pada abad 11-12 M Wazir
Bani Saljuk, Nizam al-Mulk mendirikan madrasah Nizamiyah di Bagdad sebuah
pendidikan yang bertujuan memperkaya khazanah lembaga pendidikan di masyarakat
Islam,[2]
akan tetapi penelitian terakhir madrasah pertama kali didirikan berada di
Nishapur, Iran.[3]
Menurut George Makdisi mengungkapkan di kutip oleh Ainurrafiq bahwa akar
sejarah pertumbuhan madrasah dalam dunia Islam berawal dari masjid pada abad ke
8-9, awal perkembangan madrasah karena pemerintahan memiliki andil yang cukup
besar seperti Nidzam al-Mulk 1063 M, Nur al-Din Zanky 1146-1174 M dsb.
Dan perhatian yang besar dari para saudagar, ulama, dan elemen masyarakat
lainnya[4],
disini jelas terlihat antara fihak pemerintah dan swasta bekerja sama dalam
melakukan perkembangan madrasah sehingga madrasah menjadi sebuah lembaga
pendidikan yang maju dan berkembang adalah sesuatu yang sangat utopis,
inilah awal mulanya sejarah perkembangan madrasah di dunia Islam. Berbeda
halnya jika di dalam negeri (Indonesia) madrasah adalah pendidikan yang
memberikan pengajaran Islam pada tingkat rendah dan menengah.
2. Latar Belakang Munculnya
Madrasah Indonesia
Pada masa penjajahan Jepang sikap
Pemerintahan Jepang terhadap Islam berbeda dengan sikap Belanda, Jepang tidak
begitu menghiraukan kepentingan agama, mereka lebih mementingkan keperluan
kepentingan perang, sehingga mereka lebih memilih pro dengan umat Islam, yang
menjadi mayoritas di Indonesia untuk mendapatkan dukungan. Lain halnya dengan
Belanda yang membatasi ruang gerak Islam baik pendidikan maupun
organisasi-organisasi Islam. Hal ini dilakukan Belanda karena selain bertindak
sebagai kaum penjajah, mereka juga memiliki misi yang tak kalah penting yaitu menyebarkan
agama kristen.
Dengan dikeluarkannya kebijakan
Jepang tentang upacara Sei Keirei bagi sekolah-sekolah menuai banyak
protes diantaranya adalah dua orang tokoh Islam yang memiliki andil cukup besar
terhadap perkembangan Islam. Adalah Dr. Hamka, reformis Minangkabau yang baru
dibebaskan dari pembuangan di Jawa barat pada masa kolonial Belanda. Beliau
tanpa takut-takut membeberkan bahwa tidak mungkin menyatukan ajaran shinto
yang mengharuskan menyembah kaisar dan matahari terbit dengan Islam yang monotheisme.
Tokoh lainnya adalah Abdul Kahar Muzakar, seorang pemimpin pemuda Muhammadiyah,
yang langsung menyatakan ketidak setujuannya di depan Prof. Ozaki. Berkat dua
orang tokoh ini akhirnya menghasilkan peraturan baru yang membebaskan umat
Islam dari pelaksanaan upacara Sei Kierei.[5]
Pendidikan Islam berkembang secara
pesat pada masa penjajahan Jepang terjadi di Minangkabau. Pada tahun pertama
masuknya tentara Jepang, ulama-ulama Minangkabau bersatu padu menghadapi
politik yang akan dijalankan oleh Jepang dengan mendirikan Majelis Islam
Tinggi Minangkabau, yang berpusat di Bukit Tinggi, dan ditunjuk Mahmud
Yunus sebagai penasihat dikantor residen Padang. Berkat usahanya, kepala
Jawatan menyetujui untuk memasukan pendidikan agama Islam ke sekolah-sekolah
pemerintah pada waktu itu. Mahmud Yunus juga diperbolehkan untuk melaksanakan
pengajaran di Majelis Islam Tinggi sehingga diadakan pelatihan-pelatihan guru
agama dibawah pimpinan Mahmud Yunus. Kemudian pada bulan Maret 1945, Mahmud
Yunus diangkat oleh pemerintah Jepang sebagai pemeriksa Agama di Sumatera
Barat. Sejak saat itu bertambah banyaklah pelajaran agama yang masuk ke
sekolah-sekolah pemerintah. Madrasah Awaliyah pun berkembang pesat pada masa
ini. Di Minangkabau madrasah awaliyah diadakan di sore hari dengan lama belajar
satu setengah jam perhari. Materi pelajaran yang diberikan berupa : membaca al
Quran, ibadah, akhlak dan keimanan.
Di Kalimantan didirikan pula
perkumpulan madrasah-madrasah Islam Amuntasi yang disingkat menjadi IMI, Ikatan
Madrasah Islam Amuntasi ini didirikan pada tanggal 15 Maret 1945. Adapun tujuan
dari perkumpulan tersebut adalah : Menciptakan adanya pendidikan dan pengajaran
Islam, memperluas berdirinya perguruan-perguruan Islam, dan memperbaiki
organisasi dan pengelola perguruan-perguruan Islam yang telah ada, agar sesuai
dengan keinginan masyarakat luas. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, salah satu
langkah yang diambil adalah dengan mendirikan perguruan-perguruan Islam.[6]
Bertitik tolak dari hal tersebut
maka latar belakang perumbuhan madrasah di Indonesia didorong oleh: a) sebagai
manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam, b) usaha
penyempurnaan terhadap sistem pesantren kearah kesuatu sistem pendidikan yang lebih
memungkinkan kelulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah
umum, yaitu ijazah dengan peluang pekerjaan, c) dan sebagai upaya menjembatani
antara sistem pendidikan tradisional pasantren dengan sistem modern dari hasil
akulturasi sekolah yang di pelopori oleh Belanda,[7]
d) menguaknya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan adanya respon
pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. [8]Hingga
munculnya kelompok organisasi yang bertujuan pengembalian kepada al-Qur’an dan
hadis semagat nasionalisme dalam melawan penjajahan belanda yang dimulai pada
abad 20.
Mukti Ali
mensinyalir bahwa pada masa penjajahan Belanda ini, pendidikan terpecah menjadi
dua golongan yaitu pendidikan yang sekuler dan pendidikan Agama. Oleh karena
itu madrasah merupakan pleace bertemunya proses pembelajaran antara
pesantren dengan sekolah bertujuan untuk memadukan keunggulan keduanya yaitu
pada pesantern ungul dibidang keilmuan keIslaman dan sekolah unggul di bidang
ilmu-ilmu modern atau umum[9]
Karel A. Steenbrik menguraikan bahwa madrasah yang berdiri di Indonesia adalah
Adabiah School, Madrasah Diniah Zainuddin Labai, Madrasah Nahdlatul Ulama dll.[10]
3. Perkembangan dan Manajemen
Madrasah
Perubahan
ke madrasah dari pendidikan pesantren dan sekolah yaitu sekolah umum yang
bercirikan Islam dengan cakupan tanggung jawab: a) sebagai lembaga pencerdasan
kehidupan masyarakat Indonesia umumnya, khususnya masyarakat Islami, b) sebagai
lembaga pelestarian budaya keIslaman bagi masyarakat Indonesia dan sebagai
lembaga pelopor bagi peningkatan kualitas masyarakat Indonesia dan muslim
khususnya.[11]
Madrasah
yang dikelola oleh Kementerian Agama, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia
mengupayakan untuk menjembantani kensenjangan antara model pendidikan sekolah
dengan pesantren, jika melihat sejarah madrasah yang sangat di dukung oleh
pemerintah dan bangsawan berbeda halnya dengan Indonesia yang kurang
memperhatikannya namun terdapat sedikit celah perhatian pemerintah pada
tahun 1975 munculnya Surat keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang terdiri dari
menteri agama, pendidikan dan kebudayaan serta dalam negeri yang memuat materi
pelajaran pada madrasah 70% umum dan 30 % agama, Stenbrink beranggapan bahwa
membuat kerugian terhadap madrasah. Namun jika meneropong dari sudut dikotomi
sangat positif dengan adanya SKB 3 menteri ini antara ilmu agama dengan ilmu
umum.[12]
Ciri-ciri komponen muatan belajar yang merupakan
kelebihan disubtitusi oleh lembaga pendidikan ialah muatan pendidikan agama dan
pendidikan prilaku sosial yang dikembangkan berdasarkan nilai-nilai yang
Islami. Ini berarti kekuatan yang harus dipupuk dan diperbesar. Ditengah arus
kecendrungan hidup masyarakat yang materialistis, hedonistik, liberalistik dan
individualistik, agama memiliki penyelesaian yang mendasar terhadap ketidak
tentraman dan ketidak puasan batin akan hidup dan kehidupan manusia. Semakin
sempitnya peran keluarga, menjadikan pendidikan untuk keyakinan agama, nilai
budaya, nilai moral dan keterampilan yang notabenenya merupakan tugas lembaga keluarga
sebagai lembaga pendidikan berdasarkan ketentuan UUSPN pasal 10 ayat 4.
Menjadikan ”kelebihan madrasah semakin memiliki daya tarik bagi
keluarga-keluarga yang kurang sempat memberikan keyakianan agama dan pendidikan
nilai kepada putra putrinya. Terdapat beberapa ciri-ciri khas madrasah
yakni ; 1. Suasana kehidupan madrasah yang agamis, 2. Adanya sarana ibadah, 3.
Penggunaan metode dan pendekatan yang agamis, dan 4. Kualifikasi guru harus
beragama Islam dan berakhlak mulia
Madrasah Ibtidaiyah sebagai bagian dari
penyelenggara pendidikan nasional saat ini dituntut untuk mampu melakukan
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan yang
dirumuskan oleh pemerintah. Standarisasi yang dimaksud menurut PP nomor 19 tahun
2005 meliputi standar pendidik tenaga kependidikan, standar proses, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar kompetensi lulusan dan
standar penilaian. Pengelolaan pendidikan mengalami perubahan paradigma dari
sentralisasi ke desentralisasi wujud nyata dari perubahan itu ialah lahirnya
dua UU yaitu UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU nomor
25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah pada hakikatnya
memberikan kewenangan dan keleluasaan pada daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan UU. Kewenangan diberikan kepada daerah
kabupaten dan kota berdasarkan asas desentraalisasi dalam wujud otonomi luas,
nyata dan bertanggung jawab.[13]
Dalam
rangka otonomi daerah sekaligus desentralisasi pendidikan maka pendidikan
madrasah berussaha untuk mengintegrasikan diri dalam kebijakan ini. Meskipun
sampai saat ini belum ada kebijakan yang mengikat mengenai posisi madrasah
dalam kerangka otonomi daerah namun dnegan surat menteri agama yang dikirmkan
kepada menteri dalam negeri dan otonomi daerah, No. MA/402/2000 mengenai
kewenangan penyelenggaraan pendidikan agama pada sekolah umum dan
penyelenggaraan madrasah yang diserahkan kepada daerah kabupaten/kota sesuai
azaz desentralisasi daerah, maka posisi madrasah semakin jelas
pemecahannya walaupun diakui bahwa permasalahan tersebut belum sepenuhnya dapat
diselesaikan.[14]
Pengelolaan
pendidikan pada madrasah mempunyai tiga pendekatan yaitu; Pertama secara
simbolik kita akan dapat membedakan di madrasah para siswi memakai jilbab dan
siswa memakai celana panajang begitu juga dengan gurunya. Kedua secaara
subtansial ialah pendidikan madrasah merupakan sekolah umum yang berciri khas
Islam dengan mata pelajaran al-Qur’an hadits, Fiqih, Akidah Akhlak, Sejrah
kebudayaan Islam, dan bahasa arab dan suasana keagamaan Islam yang berupa
suasana madrasah yang agamis adanya sarana ibadah, metode pendekatan yang
agamis dalam penyajian materi pembelajaran dan berakhlak mualia, dalam
rangka mengarahkan, membimbing, membina dan melahirkan pendidikan madrasah yang
qualified mampu mengembangkan kognitif, akfektif dan
psikomotor,[15]
disamping memenuhi pengajar berdasarkan ketentuan yang berlaku. Ketiga Secara
Institusional Madrasah yang khususnya Negeri berada dibawah naungan Kementerian
Agama. Madrasah merupakan satuan pendidikan seperti didalam pasal 51 UU nomor
20 tahun 2003 dijelaskan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,
dasar dan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan
prinsip manajemen sekolah/madrasah.
Desentralisasi
pendidikan tidak hanya pelimpahan dari pusat ke daerah tetapi juga kepada
sekolah/madrasah yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah/ madrasah
(MBS/M). Manajemen berbasis madrasah adalah proses pengintegrasian,
pengkoordinasian dan pemanfaatan secara menyeluruh dengan melibatkan
elemen-elemen yang ada pada madrasah untuk mencapai tujuan pendidikan secara
efesien atau manajemen yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
madrasah dalam mengambil keputusan yang partisipatif yaitu melibatkan semua
warga madrasah dengan kesepakatan bersama. Dalam kaitannya kebijakan
pendidikan memberikan kepastian hukum dalam melakukan sosialisasi,
implementasi, dan diseminasi MBS/M, selain sebagai landasan yuridis,
kebijakan-kebijakan ini secara langsung memberikan peluang, menentukan arah,
cakupan, fokus dan tingkat manajemen, serta membuka ruang kreativitas dalam
mengembangkan berbagai metode dan pendekatan baru. Pengalaman lapangan
implementasi MBS, dapat memberikan umpan balik ke para pembuat kebijakan di
tingkat yang lebih tinggi. Kebijakan pendidikan yang umumnya langsung berkaitan
dengan MBS/M adalah sebagai berikut:
1.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
4.
Peraturan Pemerintah No. 65/2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
5.
Peraturan Pemerintah No. 38/2007
tentang Pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota;
6.
Peraturan Pemerintah No. 47/2008
tentang Wajib Belajar;
7.
Peraturan Pemerintah No. 48/2008
tentang Pendanaan Pendidikan;
8.
Permendiknas No. 12/2007 tentang
Standar Pengawas Sekolah/Madrasah;
9.
Permendiknas No. 13/2007 tentang
Standar Kepala Sekolah;
10. Permendiknas
No. 22/2006 tentang Standar Isi;
11. Permendiknas
No. 16/2007 tentang Standar Pendidik;
12. Permendiknas
No. 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
13. Permendiknas
No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan;
14. Permendagri
No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
15. Rencana
Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009; Kepmendiknas
No.044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.[16]
Terkait
dengan peraturan pemerintah yang cendrung di gagas oleh Kementerian Pendidikan
Nasional maka mau tidak mau kementerian agama harus mengikuti atau
menerapkannya mengingat Madrasah juga merupakan sekolah yang berbasis Islam
yang diakui kedudukannya setara dengan sekolah dasar. Sehingga dalam beberapa
decade akhir ini sekolah menggagas Manajemen Berbasis Sekolah dan madrasah juga
pada gilirannya harus menerapkannnya yang di ubah nama dengan Manajemen
Berbasis Madrasah.
Secara umum
manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan MBS/M ialah sebagai berikut;
1)
Sekolah dapat mengoptimalkan sumber
daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya, karena bisa lebih mengetahui
peta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin dihadapi.
2)
Sekolah lebih mengetahui kebutuhan
lembaganya khususnya input dan out put pendidikan yang akan dikembangkan dan
didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan
kebutuhan peserta didik.
3)
Pengambilan keputusan partisipatif
yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan sekolah karena sekolah lebih mengetahui
apa yang terbaik bagi sekolahnya.
4)
Penggunaan sumber daya pendidikan
lebih efisien dan efektif apabila masyarakat turut serta mengawasi .
5)
Keterlibatan warga sekolah dalam
pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi yang
sehat.
6)
Sekolah bertanggung jawab tentang
mutu pendidikan disekolahnya kepada pemerintah, orang tua, peserta didik dan
masyarakat
7)
Sekolah dapat bersaing dengan sehat
untuk meningkatkan mutu pendidikan
8)
Sekolah dapat merespon aspirasi
masyarakat yang berubah dengan pendekatan yang cepat dan tepat.[17]
B. Ditinjau dari Perspektif
Manajemen Secara Umum Mutu Kelulusan MI Kalah dibandingkan Mutu Pendidikan SD
Menurut
Kartini Kartono mutu pendidikan menyangkut masalah kualitas, derajat ukuran
baik dan buruk dan tinggi rendahnya kondisi pendidikan sehingga bisa efisien
selaku alat pemecahan kesulitan-kesulitan hidup setiap hari.[18]
Terkait berbicara mutu dapat tidaknya hasil pendidikan yang dipakai secara
tepat guna sesuai dengan keperluan hidup. Madrasah dapat dikatakan
bermutu jika ditunjukkan prestasi madrasah, khususnya pencapaian siswa dengan
pencapaian yang tinggi dalam prestasi akademik, memiliki nilai-nilai kejujuran,
ketakwaan, kesopanan dan mampu mengapresiasikan nilai budaya serta memiliki
tanggung jawab yang tinggi dan kemampuan yang diwujudkan dalam keterampilan
sesuai dasar ilmu yang diterima disekolah/ madrasahnya.[19]
Semua itu tidak akan terwujud jika tidak diwujutkan dengan
cara mengoptimalkan kebijakan pada tingkat manajemen madrasah dengan
melaksanakan programnya yang memperhatikan indicator-indikator yang
mempengaruhi mutu pendidikan. Adapun indicator tersebut sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Republic Indonesia No. 19 tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan
Nasional yakni pasal 2 ayat 1 yang berbunyi : “Lingkup standar nasional
pendidikan meliputi: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Oleh karena
itu untuk menghasilkan variable –variable lingkup standar pendidikan nasional
yang bermutu maka sangat di perlukan manajemen yang bermutu pula.
Mengenai lulusan madrasah yang belum bisa dibanggakan baik
intelegtual maupun spiritualnya dari segi intelektual banyak lulusan madrasah
yang prestasinya dibawah sekolah umum yang berdasarkan standar nilai ujian
nasional. Dalam segi spiritualitas masih banyak lulusan madrasah yang dalam
disetiap prilakunya belum mencerminkan nilai –nilai islami, bahkan tidak jarang
yang terlibat dalam perkelahian dan prilaku negatif lainnya. Pada
madrasah keseluruhan input ini tidak siap, perencanaan dan evaluasi yang tidak
sistematis, yang paling extreme kurikulum yakni kurikulum madrasahn yang
belum focus hal ini terlihat misalnya dengan banyaknya materi yang diajarkan
sementara waktu tidak memadai bahkan overload. Kurikulum madrasah masih
adanya duplikasi materi yang diajarkan berulang-ulang pada mata pelajaran yang
berbeda. Impilikasi kurikulum juga yang belum focus beban belajar siswa lebih
banyak di bandingkan SD sehingga tumpang tindih dan menguras pemikiran
siswa kepada beberapa cabang pelajaran yang menyebakan tidak focus, evaluasi
atau UASBN dilaksanakan penilaian lebih dominan pada materi umum seperti IPA,
Matematika dan Bahasa Indonesia sedangkan pelajaran Agama tidak di
ujiankan apalagi pelajaran agama mencakup alqur’an hadits, akidah akhlak, SKI,
fiqih dan Bahasa Arab sangat banyak pelajaran agama yang di pelajrai membuat
siswa MI harus menguras otak sehingga cendrung menguasai pelajaran agama dari
pelajaran umum yang berindikasi pada kelulusan siswa di lihat dari nilai
pelajaran umum maka nilai siswa dari MI lebih rendah di bandingkan dengan siswa
SD karena kurikulum SD hanya mempelari pelajaran agama selama 2 jam saja dalam
seminggu yang kelima unsure pelajaran agama itu terangkum dalam pelajaran Agama
Islam.
Program pengembangan yang parsial dan tidak berangkat dari
suatu desain yang terencana. Juga diidentifikasi sebagai penyebab tidak
bertemunya visi –misi madrasah dengan proses pembelajaran yang di berikan. Dan
tidak adanya cetak biru dalam pengembangan madrasah. Pada tahap outcome
Sekolah menengah pertama atau Madrasah Tsanawiyah dalam menyaring inputnya
mencari yang nilainya tinggi sesuai dengan kelulusan siswa di MI disini jelas
siswa MI tidak mendapat kesempatan karena nilai yang tertera di secarik kertas
Ijazah dominan nilai mata pelajaran umum.
Pada prosesnya siswa MI dididik oleh
pendidik yang tidak professional Rendahnya mutu pendidik yang cenderung lemah
dalam pembelajaran umum, modern dan teknologi. Jarangnya dilakukan pelatihan,
seminar atau bimbingan untuk meningktakan mutu guru baik dari pemerintah pusat
(Kementerian Agama) hingga kepada Kepala sekolah Madrasah itu sendiri berbeda
halnya dengan SD yang dididik oleh pendidik yang professional sehingga pada
prosesnya yaitu proses belajar mengajar berlangsung siswa SD denderung lebih
bermutu daripada MI. tidak hanya itu siswa yang ada di MI berlatar belakang
dari keluarga kurang mampu dan IQ yang lemah. Melihat pada sudut sarana dan
prasarana MI sangat minim dan beda halnya dengan SD yang sudah sangat modern
dan sebagian terpenuhi standar nasional. Yang paling ironinya keuangan pada
Madrasah Ibtidaiyah juga politisasi oleh pejabat yang berwenang sehingga
menghasilkan kebijakan sentralisasi pada MI yang seyogyanya sudah
disentralisasi sehingga dana yang disalurkan sangat sedikit jika di bandingkan
dengan SD di tambah dengan tidak adanya penyuntikan dana dari otonomi daerah.
Apabila
input dan proses tidak sesuai yang di harapkan maka outputnya juga tidak akan
dapat menghasilkan sebagaimana diinginkan yaitu lulusan MI sangat sedikit
berpeluang menduduki sekolah favorit karena mutu yang lemah terhadap lulusan MI
tidak berhasil sebagaimana konsep yang bertujuan meluluskan siswa yang ahli di
bidang pengetahuan umum dan modern plus mempuyai moral dan dedikasi tinggi
dengan keIslaman.
C. Menurut anda apa-apa saja
problem-problem manajemen MI dan bagaimana solusinya?
Jenjang
pendidikan dasar MI bertujuan pada pencapaian kemampuan dasar ialah dengan
landasan yang benar yakni;
a. Peserta
didik memiliki gairah untuk beribadah, maupun berpikir dan berdo’a, mampu
membaca al-Qur’an dan membacanya serta menulisnya dengan benar hingga berusaha
memahami kandungan maknanya terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan
(IPTEK)
b. Memiliki
kepribadian muslim (berakhlak mulia )
c. Memahami,
menghayati tarikh islam
d. Mampu
menerapkan prinsip-prinsip muamalah dan syari’ah islam dengan baik dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan UUD 1945[20]
Untuk
mewujutkan tujuan tersebut ternyata masih banyak problem yang
dihadapi,sebagaimana system kehidupan lain, problem pendidikan madrasah
merupakan problem yang beragam dan saling keterkaitan, selain itu, keterkaitan
system pendidikan madrasah dengan system social lainnya juga mempunyai
problemnya tersendiri. Problem madrasah secara umum dapat ditinjau dari dua
sisi yaitu dari sisi internal dan sisi eksternal.
Problem
system pendidikan yang bersifat external seperti persoalan politik, ekonomi,
social, budaya, sifat daerah yang berlebihan, tidak adanya kepastian hukum dan
kurang terjaminnya rasa aman bagi setiap warga Negara, berpengaruh pada proses
pendidikan madrasah. Adapun problem system pendidikan yang bersifat internal
ialah guru mengajar tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikna yang dibutuhkan,
begitu juga dengan kepala sekolah masih banyak yang belum menjalankan tugas dan
fungsinya secara baik bahkan ada yang layaknya seperti kepala kantor yang hanya
pandai menyusun jadwal dan membagi proyek ketimbang menciptakan kondisi ummatan
ilman, ummatan wakhidan dan biah islamiyah. Karyawannya juga masih belum
menjalankan tugas dan fungsinya secara baik karena tidak didukung
profesionalisme yang tinggi. Dalam proses belajar mengajar strategi atau metode
belajar yang dikembangkan lebig banyak “model warisan “ tradisional
ketimbang problem solving, sehingga siswa lebih banyak meniru ketimbang
menghasilkan ide baru. Nah strategi demikian lama kelamaan tidak tahan uji,
karena tidak mampu menyesuaikan dnegan tuntutan zaman. Madrasah dikelola dengan
asal-asalan yang menimbulkan problem system manajemenen, dan etos kerja yang
rendah. Disamping itu ketertinggalan madrasah dilator belakangi dengan masih
berorientasinya kemasa silam yang berciri konservatisme, mutu pennyelenggaraan
yang masih rendah, sehingga profesionalisme pengelolaanya tidak jelas dan
relevansi pendidikan islam yang kurang mampu merespon tuntutan dan perkembangan
masyarakat ynag menuntut pelayanan prima. [21]
Maka
menurut penulis problem-problem manajemen MI sangat kompleks adapun
problem-problem Manajemen MI ialah Manajemen MI kurang proposional, manajemen
tidak akan berjalan jika tidak ada yang mengelolanya yaitu diperlukan seorang
pemimpin atau kepala madrasah yang professional yang dapat menjalankan
pleaning, Organizing, Actuating dan Controlling namun di MI pada pelaksanaanya
belum dijalankan dengan sepenuhnya yang berdampak pada kualitas lulusan
MI itu sendiri yakni:
a).
Perencanaan yang dilakukan oleh manajemen Madrasah Ibtidaiyah bersifat
sementara dan tidak jangka panjang dan tidak mambaca kebutuhan pasar pendidikan
sehingga dalam menetapkan visi dan misi sekolah tidak berbasis mutu baik
tujuan, target maupun strategi yang ingin dicapai atau digunakan.
b).
Pengorgansasian pada manajemen madrasah tidak kompak baik di sekolah, daerah
maupun tingkat pusat karena pemimpin yang tidak professional otomatis
tidak akan mampu melakukan pengorganisasian secara baik karena keterbatasan
kemampuan pemimpin yan[1]g
tidak akan tercapai pada tujuan atau target yang ingin di capai.
Pengorganisasian kepada kekompakan seluruh masyarakat madrasah
c).
Penggerak roda lembaga Madrasah Ibtidaiyah ialah kepala madrasah tidak mampu
menggunakan sumber daya organisasi sehingga tidak terciptanya iklim organisasi
yang kondusif.
d).
Kepala madrasah sangat sedikit melakukan pengawasan secara komperhensif atas
semua yang telah dijalankan. Tidak adanya aspek pengawasan melalui pengukuran,
pengamatan.
Adapun problem
sumber daya organisasi manajemen madrasah ibtidaiyah meliputi;
1.
Walaupun sudah ada pengembangan system manajemen berbasis madrasah namun
sebagian besar madrasah belum siap menjalankan system tersebut karena kemampuan
kepimpimpinan dalam memanaj seluruh unsure manajemen yang ada pada madrasah
ibtidaiyah cenderung memposisikan diri sebagai manajer bukan sebagai leader
atau bahkan creaker. Disamping itu pengelolaan madrasah masih menganut system
sentralisasi yang menyebabkan birokrasi yang panjang dan rumit.
2.
Pemimpin merupakan posisi yang paling urgen didalam pengelolaan pendidikan
kepala madrsah kebanyakan memposisikan sirinya sebagai manajer bukan sebagai leader
apalagi sebagai kreacker.
3.
Madrasah ibtidaiyah seluruh keuangan terpusat pada kementerian agama sehingga
pihak madrasah tidak bisa memfungsikan dana yang telah ada sebaik mungkin
sesuai dengan kebutuhan madrasah. Sehingga dapat di ungkapkan bahwa kementerian
agama menjadi sub system dari system pendidikan nasional.
4.
Fasilitas yang ada pada Madrasah Ibtidaiyah sangat Minim karena Minimnya dana
yang diperoleh dari pemerintah dan lembaga non pemerintah.
5.
Citra MI dimata masyarakat tidak sebaik sekolah dasar ini disebabkan siswa yang
menimba ilmu di MI ialah siswa yang tidak mempuyai financial, siswa yang
digolongkan IQ rendah sehingga input siswa tidak berkualitas yang berdampak
pada minimnya peminat masyarakat terhadap MI. sehingga kualitas siswa yang ada
pada madrasah ibtidaiyah sangat rendah.
6.
Madrasah tidak dapat menjamin masa depan lulusannya karena kalah bersaing
dengan lulusan dari sekolah umum karena lamahnya pengetahuan umum yang dimiliki
lulusan madrasah. Pasalnya lulusan madrasah tidak mampu menguasai pelajaran
umum secara mendalam dan pelajaran keagamaan secara mendalam sehingga keilmuan
yang didapat oleh siswa madrasah setengah –tengah ini sangat bertolak belakang
dengan konsep yang di tawarkan bahwa lulusan madrasah dapat menguasai
pendidikan umum secara mendalam dan pendidikan agama Islam secara mendalam.
7.
System manajemen yang diterapkan tidak berbasis mutu
8.
MI sebuah sekolah yang beriklim kurang kondusif ini disebabkkan tidak memiliki
keterbukan manajemen baik ditingkat pusat daerah maupun di lingkungan madrasah
itu sendiri yang berpeluang untuk melakkukan korupsi sehingga jika di
cermati kementerian agama menduduki posisi “puncak “ tingkat korupsinya
di Indonesia.
9.
Walaupun sudah diberlakukan desentralisasi pendidikan di tahap satuan
pendidikan yaitu berpusat pada madrasah ternyata masih banyak madrasah yang
belum siap dengan adanya manajaemen berbasis madrasah ini juga dengan berbagai
problem yaitu; masih mengadopsinya praktek manajemen tradisional, yakni
manajemen paternalistic dan feodalistik. Dominasi senioritas seperti ini
terkadang menganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya
kreatifitas inovatif dari kalangan muda terkadang difahami sebagai sikap yang
tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarqah pada ujung ekstrim
negative hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi
kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.
10.
Evaluasi yang dilaksanakan di MI cenderung tidak ada tindak lanjut yang baik
karena tidak adanya strategi evaluasi yang sistematis, memeriksa mutu hanya
dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan agen-agen eksternal saja kemudian
perbaikan yang dilakukan tidak berkelanjutan dan tidak berbasis data real di
lapangan serta tidak komitmennya untuk melakukan perubahan yang lebih baik dan
focus pada pendekteksian permasalahan bukan pada penyebab permasalahan yang
timbul.
Secara praksis
dan aplikatif pendidikan dikelola dengan manajemen yang baik agar konsep dan
filosofisnya dapat dibumikan secara efektif, efesien dan prosuktif tanpa system
pengelolaan yang baik konsep-konsep tersebut tidak mempunyai banyak arti oleh
karena itu manajemen mempunyai peran yang sangat signifikan dalam pelaksanaan
pendidikan agar konsep dan tujuan pendidikan dapat tercapai sebagaimana
diinginkan. Berdasarkan problematika manajemen MI diatas maka penulis
menawarkan solusi sebagai berikut.
1.
Perlu adanya revitalisasi kembali sejarah maksud dan tujuan didirikannya
madrasah ibtidaiyah.
2.
Perlu adanya perhatian pemerintah terhadap kelangsungan madrasah yang tidak
bermutu dengan cara pendekatan secara kebijakan dan structural yang tidak lagi
menganut sentralisasi atau dengan pengsatu atapan dibawah naungan
Kemneterian Pendidikan Nasional antara Madrasah Ibtidaiyah dengan Sekolah
Dasar guna menghindari dikotomi pendidikan. Sehingga madrasah leluasa dalam
mengelola lembaganya tanpa adanya doktrin dari pusat sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
3.
Untuk menghadapi tuntutan global kepala madrasah harus sering di berikan
pelatihan dan pembinaan serta pengawasan agar madrasah yang dikelola dapat
terwujud sesuai dengan yang di harapkan. Disamping itu perlunya penyeleksian
ketat terhadap pemilihan kepala madrasah yang baru dan yang mampu menjadi
pembaharu di manajemen Madrasah seperti layaknya cracker yang mampu melakukan
lompatan dalam manajemennya.
4.
Melakukan penerapan dna pengemabangan strategi Manajemen Berbasis Madrasah
secara kaffah
5.
Madrasah harus menerapkan Total Quality Education yaitu dengan stimulasi
dan korehensi proses belajar mengajar sehingga tidak terjadi distegrasi
kurikulum dan analisis kebutuhan kelompok siswa
6.
Perencanaan harus memperhatikan tuntutan masyarakat karena sebuah lembaga
menghasilkan lulusan tidak terlepas dari kebutuhan pasar sehingga madrasah
harus tanggap dengan percepatan globalisasi dan informasi yang berkembang.
7.
Melakukan pengembangan strategi pembelajaran dengan cara mengubah cara belajar
dengan tradisional atau warisan menjadi belajar pemecahan masalah, dari hafalan
ke dialog, dari pasif keheuristik dari memiliki ke menjadi, dari mekalis ke
kreatif dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai
metodologi kuat, dari memandang dan menerima ilmu sebagai final yang mapan
menjadi memandang menerima ilmu dalam dimensi proses dan fungsi pendidikan
bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, tetapi mengolah dan mengembangkan
hati (moral) dan keterampilan oleh karena itu keteladanan merupakan cara yang
amat baik odalam menumbuh kembangkan budi pekerti luhur, kesetiakawanan social,
disiplin dan etos kerja.[22]
8.
Kurikulum madrasah yang sangat banyak perlu dipertimbangkan dan ditinjau ulang
sesuai dengan alokasi waktu dan daya serap siswa sehingga tidak menghasilkan
peserta didik yang menguasai pelajaran setengah-setengah.
9.
Melakukan pengembangan strategi bakat dan minat siswa yaitu dengan melihat
kecerdasan majemuk siswa. Sehingga siswa diberikan kebebasan untuk memilih
program kegiatan sesuai dengan keinginannya.
10.
Melakukan pengembangan strategi lingkungan belajar dengan menata lingkungan
belajar menjadi kondusif
11.
Melakukan pengembangan strategi sarana dan prasarana yaitu tersedianya seluruh
media pembelajaran dan sarana prasarana yang megoptimalkan pembelajaran.
12.
Peningkatan guru yang lebih bermutu guna proses dalam manejemen madrasah dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
13.
Penerapan manajemen modern atau manajemen mutu dan internalisasi nilai-nilai
religius dengan kepemimpinan trasformatif-visioner, priotas jangka panjang,
menumbuhkan motivasi pegawai, meningkatkan kemampuan dan kreatifitas guru dan
pemberian penghargaan baik secara materi maupun non materi. Penanaman nilai
religius yakni dengan nilai ibadah, nilai jihat,amanah dan ikhlas, akhlak dan
kedisiplinan serta keteladanan.
14.
Melakukan trobosan baru dalam memanaj madrasah baik dengan cara pemasaran
melalui media elektronik maupun media cetak dan mampu menunjukkan mutu sehingga
pencitraan Madrasah yang miring menjadi baik.
Berdasarkan uraian diatas maka
penulis menawarkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000 sebagai solusi dalam
manajemen Madrasaha yang selama ini berkembang. “Persyaratan
standar yang digunakan untuk mengakses kemampuan organisasi dalam memenuhi
persyaratan pelanggan dan peraturan yang sesuai” Fokus ada pada proses, bukan
produk dengan berdasar pola Plan-Do-Check-Action (PDCA). 1) Pendekatan
Proses, 2)Fokus Pada Pelanggan, 3)Peningkatan Berkesinambungan. Bagan di
bawah ini menunjukkan upaya manajemen untuk mencapai mutu dengan pola PDAC mutu
|
ISO disusun
berdasarkan kepada delapan prinsip manajemen kualitas yakni:
1.
Focus kepada pelanggan, organisaasi tergantung kepada pelanggan, karena itu
manajemen organisasi harus memahami kebutuhan pelanggan sekaran yang akan
datang, harus memenuhi kebutuhan pelanggan dan giat berusaha melebihi ekspetasi
pelaggan
2.
Kepemimpinan menetapkan kesatuan tujuan arah dari organisasi. Harus dapat
menciptakan dan memelihara lingkungan internal agar orang-orang dapat menjadi
terlibat secara penuh dalam mencapai tujuan
3.
Keterlibatan orang-orang pada semua tingkat merupakan factor yang sangat
penting. Pendekatan proses,
4.
Pendekatan system terhadap manajemen
5.
Peningkatan terus menerus
6.
Pendekatan factual dalam pembuatan keputusan
7.
Hubungan saling menguntungkan antara lembaga dengan konsumen pendidikan
Model
proses ISO 9001:2000 terdiri dari lima bagian utama yang menjabarkan system
manajemen mutu organisasi sebagai berikut;
1.
System manajemen mutu
2.
Tanggung jawab manajemen
3.
Manajemen sumber daya
4.
Realisasi produk atau output
5.
Pengukuran, analisis dan peningkatan mutu
Adapun langkah
–langkah implementasi sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 sebagai berikut:
1.
Suatu Lembaga Madrasah Ibtidaiyah bila ingin berhasil mencapai tujuannya
dimulai dengan adanya suatu arahan yang jelas dari pemimpinnya mengenai tujuan
dinyatakan dalam visi dan misi yang dijabarkan lagi kedalam kebijakan dan
sasaran mutu.
2.
Lembaga Madrasah Ibtidaiyah tergantung pada pelanggannya dan fihak-fihak
berkepentingan untuk itu Lembaga Madrasah Ibtidaiyah harus mengetahui
keinginan pelanggan saat ini dan harapannya untuk masa mendatang pimpinan harus
mengetahui hal ini dilukiskan dengan garis putus-putus dan menginformasikan
keseluruh bagian dari Lembaga Madrasah Ibtidaiyah
3.
Visi dan misi sebagai rencana strategis memerlukan sebagai tersedianya sumber
daya ( manusia, peralatan, metode, dan keuangan) untuk dapat merealisasikan
persyaratan dan harapan pelanggan oleh karena itu disini perlu dipastikan
adanya komitmen pimpinan untuk menyediakan sumber daya
4.
Sumber daya harus dikelola untuk menghasilkan produk/jasa yang sesuai dengan
persyaratan pelanggan.
5.
Dengan adanya perencanaan strategis tersedianya sumberdaya yang tercukupi maka
dapat dilakukan proses realisasi produk/jasa yang mendapatkan masukan
persyaratan pelanggan. Persyaratan-persyaratan tersebut diubah menjadi urutan
proses internal Lembaga Madrasah Ibtidaiyah yang harus dikendalikan
dengan memperhatikan keterkaitan dan ketergantungan antar proses tersebut.
6.
Produk/jasa yang dihasilkan akan diterima oleh pelanggan. Pada fase ini akan
terjadi proses pembandingan antara harapan pelanggan dengan produk jasa yang
diterima yang akan melahirkan kondisi puas atau tidak puas. Lembaga Madrasah
Ibtidaiyah harus mengetahui kepuasan dari langganannya.
7.
Sebagai tindak lanjut dari pengukuran kepuasan pelanggan, efektifitas dan
efesiensi penerapan sistem manajemen, proses dan produk perlu dilakukan
analisis terhadap dua data tersebut. hasil analisis data harus ditindak lanjut
dengan suatu program peningkatan
8.
Program-program peningkatan akan menuntut arahan dan tersedianya sumber daya.
Hal ini dibutuhkan kembali komitmen pemimpin untuk menjalankannya. Dengan
demikian, proses perbaikan berkesinambungan terus berlanjut tanpa berhenti
dengan tujuan akhir untuk mendapatkan keuntungan bagi organisasi.[23]
Untuk mendapatkan mutu yang baik tentunya mencakup dari aspek
input-proses –out put. Input pendidikan adalah semua perangkat yang mendukung
berlangsungnya proses, perangkat yang dimaksud berupa kebijakan-kebijakan dan
sumber daya yang mendukung peningkatan mutu pendidikan suatu lembaga
pendidikan. Input kebijakan mulai dari perumusan kebijakan mutu (terumusnya
mutu, terumusnya strategi pencapaian mutu, terumusnya kendali mutu, terumusnya
pengukuran mutu, dan kebijakan tersebut sampai tersosialisasi (terpahaminya
kebijakan mutu oleh warga sekolah, terwujutnya komitmen mutu oleh warga
sekolah, terbentuknya karakter budaya oleh warga sekolah/ madrasah) dan input
pendidikan yang mengarah pada sumber daya yakni perencanaan yang matang
(memiliki visi, misi, tujuan, strategi, target, sesuai dengan kebutuhan
nasional, daerah, masyarakat, orang tua, siswa, memiliki rencana pengembangan
sekolah dan rencana program). Memiliki adanya anggaran yang layak, memiliki
srategi pencapaian dana, memiliki manajemen keuangan dan manajemen perlengkapan
yang baik[24]
oleh krena itu makin tinggi kesiapan input makin berkualitas input.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila
pengelolaan input pendidikan dilakukan secara harmonis sehingga mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, mampu mendorong motivasi
dan minat belajar dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik yaitu
peserta didik tidak sekedar menguasai pelajaran yang diberikan oleh gurunya
akan tetapi peserta didik dapat menghayati memahami dan merasuk didalam nurani
dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari serta yang lebih
penting lagi mampu belajar terus menerus.
Proses pendidikan yang dimaksud
mengarah kepada kepemimpinan yang kuat; proses pembelajaran yang efektif;
tenaga kependidikan terkelola secara baik, adanya budaya mutu adanya team work
yang cerdas, kompak, dan dinamis adanya kemandirian sekolah/madrasah;
partisispasi warga sekolah dan masyarakat; transparan manajemen; kemampuan
untuk berubah responsive dan antisipatif terhadap kebutuhan serta memiliki
akuntabilitas.[25]
Out put disini adalah kinerja
sekolah/madrasah ialah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses/prilaku
sekolah/madrasah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya,
evektifitasnya, produktifitasnya, efesiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan
kerjanya dan moral kerjanya. Khusus dengan mutu out put sekolah dikatakan
berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya belajar siswa
menunjukkan pencapaia yang tinggi dalam; prestasi akademik dan prestasi non
akademik [26]
secara rinci diuraikan dibawah ini;
Instrument input
1. Kebijakan mutu dan harapan
dan tujuan
2. Sumber daya
3. Berorientasi siswa
4. Manajemen
Instrument
proses
I.
Pembelajaran yang berorientasi
kepada: learninf ti know, learning to do, learning to be, learning to live
together
II.
Kepemimpinan yang demokratis
meliputi ; kemampuan manajerial, kemampuan mobilisasi dan memiliki otonomi luas
III.
Lingkungan ; aman, nyaman dan
manusiawi
IV.
Pengelola tenaga efektif meliputi,
perencanaan, pengembangan dan penilaian
V.
Memiliki budaya mutu yaitu kerja
sama, merasa memiliki, mau berubah, mau meningkatkan diri dan dinamis
VI.
Tim kerja kompak, cerdas dan dinamis
VII.
Partisipasi masyarakat tinggi
VIII.
Memiliki akuntabilitas yang meliputi
laporan prestasi dan respon/tanggapan masyarakat
Instrument out
put
Prestasi
akademik dan non akademik
Maka
secara konkrit strategi yang dapat ditempuh dalam rangka membangun kualitas
madrasah ialah dengan ; meningkatkan kualitas dan sinergitas manajemen sumber
daya madrash, menetapkan core competency madrasah, membangun network dan
partnership dengan fihak lain , membuat program yang excellen and relevan /link
and match dengan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan evaluasi diri secara
konsisten dan berkelanjutan.
D. Bagaimana perbedaan manajer, leader dan
ceakker dalam pengelolaan pendidikan di MI untuk memajukan lembaga tersebut?
Secara umum
perbedaan manajer, leader dan cracker adalah seperti yang terlihat pada table
di bawah ini;
No
|
Manajer
|
Pemimpin
|
Cracker
|
1
|
Seseorang
yang mempertahankan dan bekerja dengan system
|
Mengajak
anda melompat ke tingkata atas manajer dengan mengubah haluan
|
Mengubah
wajah industry
|
2
|
Mencari rasa
aman, menghindari hal-hal baru dan beresiko belum pasti
|
Menantang
gagasan-gagasan lama dan mengajak anda menantang gagasan-gagasannya
|
Menembus
segala hambatan
|
3
|
Cendrung
wait and see
|
Tindakan
lebih penting dari justifikasi, take action, see and do
|
Rela bekerja
keras dan mendengarkan hal-hal baru
|
4
|
Memprioritaskan
kestabilan usaha
|
Mengambil
resiko
|
Bongkar cara
pikir lama
|
5
|
Waktu
bekerja untuk kantor keluarga dan ibadah
|
Prioritas
naik kelas, pembaharuan
|
Know your
self, yours costumer and competitor
|
6
|
penting
bekerja dengan justifikasi
|
Mengangkat
telpon berinisiatif
|
Terbuka
terhadap gagasan-gagasan baru, membangun kapasitas baru
|
7
|
Menunggu
arahan dan telpon
|
Memberi
arahan
|
Mengadaptasi
secara radikal dan adaptasi lagi
|
8
|
Mengisi
kelander dengan arahan dari orang lain
|
Waktu
terbagi : masyarakat-kantor –keluarga
|
Menciptakan
hal-hal baru enggan mengikuti yang lama
|
9
|
Orientasi
internal
|
Orientasi
eksternal –internal
|
Ambil segala
resiko
|
10
|
Ia merupakan
miIlik keluarganya
|
Ia adalah
milik bangsanya
|
Ukur segala
resiko
|
Berdasarkan
tabel diatas maka manajer dalam pendidikan MI ialah seseorang yang mengelola
pendidikan di lingkup madrasah dengan pengelolaan system yang telah ditetapkan
oleh pusat (kementerian agama) dan mencari titik aman tidak berani keluar dari
titik aman karena rasa takut yang dapat mengancam jabatannya (internal) dan
menjaga kestabilan lembaga yang dikelolanya bersifat kaku serta cendrung pasif
tidak tanggap dengan situasi dan kondisi lembaga yang dikelola yang cendrung
menunggu dan hanya melihat, penting bekerja dengan jutstifikasi sehingga lamban
dalam mengambil keputusan dan tindakan.
Kepemimpinan
adalah kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak
mengarahkan, menasehati, membina, membimbing, melatih, menyuruh memerintah,
melarang dan bahkan menghukum seluruh sumber daya organisasi untuk mencapai
tujuan yang diinginkan secara afektif dan efisien pengertian ini menunjukkan
bahwa dalam kepemimpinan terdapat tiga unsure yaitu pemimpin, anggota dan
situasi disini yang berperan sebagai pemimpin dalam madrasah ibtidaiyah ialah
kepala madrasah.
Maka
mengaitkan dengan table di atas pemimpin dalam pengelolaan madrasah ibtidaiyah
ialah seseorang yang mampu mengubah atau membelok dari system yang telah
di tetapkan oleh pemerintah pusat yang dinilai lambat dan sudah tidak update
lagi untuk direalisasi dalam pengeolaan madrasah, mempunyai gagasan atau ide
yang cemerlang guna menantang gagasan lama dia seseorang yang tidak bisa diam,
menunggu dan melihat saja namun cepat bertindak yang berani mengambil resiko
dengan memprioritaskan kualitas atau peningkatan lembaga yang sedang
dikelolanya, mampu memberikan arahan, bimbingan dan bertindak tegas apabila ada
yang melanggar dengan berorientasi eksternal dan internal yang tidak hanya
mementingkan kepentingan pribadinya saja namun berawal dari semua komponen
organisasi baru berorientasi kepada diri sendiri.
Kreacker dalam pengelolaan
pendidikan madrasah ibtidaiyah ialah seseorang yang mampu mengubah wajah
industry pendidikan dengan manajemen madrasah ibtidaiyah yang berbasis
tradisional kepada manajemen berbasis modern atau internasional. Yang membuka
peluang besar yang menimbulkan kehancuran atau keretakan pada teritori tetangga
mereka, namun membentuk peluang baru bagi industry pendidikan yang belum dikenal.”
pada perubahan ini menimbulkan banyak ancaman dan tantangan yang pada akhirnya
mereka bisa mendapat kesempatan. Kreacker tidak bertidak sebagai
penantang tantangan namun sebagai menembus tantangan yang menghalanginya dalam
berlayar mengarungi tuntutan global, rela bekerja keras dan selalu mencari
informasi baru agar tidak tertinggal dengan perkembangan lembaga pendidikan
lainnya, mencabut pola piker lama yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman dapat
menguasai pasar pendidikan dengan melihat kemampuan diri dapat memuaskan
pelanggan serta mempelajari pesaing pasar pendidikan agar mutu kualitas
pendidikan yang dihasilkan menjadi bets of the bets, disamping itu terbuka
terhadap gagasan-gagasan baru sehingga mampu membangun kapasitas baru mampu
mengkritisi resiko dan berani mengambil semua resiko yang diawali dengan
pengukuran tingkatan resiko dengan menghasilkan terobosan-terobosan spektakuler
yang berkualitas.
Maka jika di cermati pemimpin atau
kepala madrasah cenderung mengadopsi system kepemimpinan manajer ini karena
didikan system sentralisasi yang hingga sampai saat ini di sebagian
pelaksaannya masih dianut walaupun sebagian kecil sudah ada yang mengadopsi
sebagai pemimpin. Sehingga pendidikan madrsah ibtidaiyah kalah bersaiang di
kancah pemasaran pendidikan. Jika madrasah ingin bangun dari keterpurukan di
cari atau di butuhkan seorang kreacer untuk menjadi pioner dalam menerobos
percaturan pasar pendidikan baik di tingkat daerah, nasional maupun hingga ke
tingkat internaasional sekalipun.
C.
PENUTUP
Keberadaan
madrasah sejak Indonesia merdeka sampai sekarang pada hakikatnya adalah
kelanjutan dari keberadaan madrasah sejak awal berdirinya. Perbedaan utama
tentang keberadaan madrasah di zaman ini terletak pada perhatian pemerintah
yang sangat tinggi terhadap usaha peningkatan kualitas dan kuantitas madrasah
baik negeri maupun swasta.
Madrasah
terus dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman, seperti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi melalui proses perubahan kurikulum dari tahun ke tahun.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
http://dakir.wordpress.com/2009/04/18/pendidikan-periode-madrasah/
[1] Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi, Jakarta:
Ridamulia, 1995 hal. 205
[1] Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan,
Yogyakarta: Kota kembang, 2008
[1] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen Madrasah
Berbasis Pasantren, Yogyakarta: Lista Friska Putra 2004., hal. 33
[1] A. Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Bandung:
Pustaka Setia, 1999, hal. 99.
[1] Ibid, hal.100-101.
[1] Abdul Mujib & Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008 hal. 241
[1] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam Jakarta:
Kencana, 2009 hal. 292
[1] Sutrisno, Pendidikan Islam .., hal. 78
[1] Maksum, Madarasah, Sejarah dan Perkembangannya,
Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999 hal 98
[1] Syarifuddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam,
Ciputat: Press Jakarta, 2005 hal. 209
[1] Ahmad Janan Asifuddin, Mengungkit Pilar-Pilar Pendidikan
Islam, Yogyakarta : SUKA –Press UIN Sunan Kalijaga, 2010, hal. 170
[1] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi
dan Implementasi, Bandung: Rmaja Rosdakarya, 2004, cett. VII, hal.5
[1] Agus Maimun & Agus Zaenul
Fitri, Madrasah Unggulan, Malang: UIN MALIKI Press, 2010 hal. 6
[1] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen ..,
hal. 58
[1] Departemen Pendidikan Nasional Direktoral Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dan Departemen Agama Direktorat
Madrasah Dan Pendidikan Agama Islam Program Manajemen dan Tata Layanan
Pendidikan Berbasis Sekolah/ Madrasah Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Direktoral Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dan
Departemen Agama Direktorat Madrasah Dan Pendidikan Agama Islam, 2009
[1] Dadang Dally Balanced Score Card : Suatu Pendekatan
Dalam Implemantasi Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010 hal 19-20
[1] Kartini, Kartono, Ilmu Pendidikan Teoritis bandung: Mandar
Maju, 1992 hal. 39
[1] Syaiful Sagala, Manajemen Berbasis Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta: PT Rakasta Samasta, 2005, hal. 145
[1] Agus Maimun & Agus Zaenul
Fitri, Madrasah …, hal. 25
[1] Ibid
[1] Ibid.., hal. 68
[1] Ara Hidayat, Imam Machali, Pengelolaan.., hal
329-330
[1] Abdul Rahman Shaleh, madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa,
Jakarta: PT. Raja Grapindo persada, 2006 hal 242-244
Komentar
Posting Komentar