PENDIDIKAN PADA MASA PEMBANGUNAN DEWASA INI
ANALISA TERHADAP STAKE HLDER PENDIDIKAN
Konsep stakeholder kini menjadi bagian tak
terpisahkan dari pemikiran manusia dalam seluruh aspek kehidupannya, utamanya
dalam upaya pemberdayaan pendidikan. Dalam tradisi lama stakeholder dipahami
sebagai orang yang menanamkan investasi atau pemilik sebuah bisnis. Akan tetapi
kini pengertian stakeholder tidak semata pada individu tapi bisa juga kelompok.
Oleh karena itu akhir-akhir ini dikenal bahwa stakeholder adalah individu atau
kelompok yang memilik satu atau lebih jenis-jenis usaha (bisnis) di mana
stakeholder bisa terdiri dari berbagai fungsi; pelaksana, pemegang kebijakan,
pengaman dan pelaku bisnis itu sendiri.
Namun secara operasional dapat dikatakan
Stakeholder’ adalah kelompok atau individu yang dukungannya diperlukan demi
kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi. Clarkson membagi stakeholder
menjadi dua; stakeholder primer dan stakeholder sekunder. Stakeholder primer
adalah pihak di mana tanpa partisipasinya yang berkelanjutan organisasi tidak
dapat bertahan. Contohnya adalah pemegang saham, investor, pekerja, pelanggan,
dan pemasok.
Menurut Clarkson, suatu perusahaan atau
organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem stakeholder primer – yang
merupakan rangkaian kompleks hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan yang
mempunyai hak, tujuan, harapan, dan tanggung jawab yang berbeda.
Stakeholder sekunder didefinisikan sebagai
pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan, tapi mereka tidak
terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting untuk
kelangsungan hidup perusahaan.’ Contohnya adalah media dan berbagai kelompok
kepentingan tertentu.
Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini
untuk kelangsungan hidupnya, tapi mereka bisa mempengaruhi kinerja perusahaan
dengan mengganggu kelancaran bisnis perusahaan. Clarkson (dalam artikel tahun
1994) juga telah memberikan definisi yang bahkan lebih sempit lagi di mana
stakeholder didefinisikan sebagai suatu kelompok atau individu yang menanggung
suatu jenis risiko baik karena mereka telah melakukan investasi (material
ataupun manusia) di perusahaan tersebut (‘stakeholder sukarela’), ataupun
karena mereka menghadapi risiko akibat kegiatan perusahaan tersebut
(‘stakeholder non-sukarela’). Karena itu, stakeholder adalah pihak yang akan
dipengaruhi secara langsung oleh keputusan dan strategi perusahaan.
Istilah stakeholder kemudian mengklasifikasi
beberapa bagian yang eksistensinya saling terkait dan memberi pengaruh, yaitu:
1.
Owner
merupakan seorang entrepreneur atau lebih yang menghasilkan suatu ide tentang
suatu produk atau layanan. Seorang entrepreneur selalu bersikap kritis dalam
membangun suatu bisnis baru karena mereka membuat prduk baru yang berdasarkan
selera konsumen. Selain itu, owner juga memiliki definisi sebagai
seseorang atau sekumpulan orang yang memiliki wewenang khusus untuk memegang,
menggunakan, menikmati, menyampaikan, mengirim dan mengatur suatu asset
atau property .
Banyak orang yang ingin membuat suatu bisnis
hanya karena mereka berharap agar mereka dihargai karena hasil jerih payah
mereka sendiri. Selain itu, tidak sedikit pula mereka yang disebabkan karena
mereka terantang atau bergengsi tinggi untuk membangun suatu bisnis sendiri.
Kebanyakan owner dari suatu bisnis yang setuju bahwa semua hal itu
merupakan karakeristik dari orang-orang untuk temotivasi dalam memulai karirnya
sendiri.
1.
Creditor,
adalah suatu institusi yang menyediakan dana untuk kemudiakan dipinjamkan
kepada suatu perusahaan yang membutuhkan. Suatu perusahaan yang meminjam dari
suatu creditor harus membayar bunga dari pinjaman mereka. Suatu creditor
tidak sembarangan dalam meminjakan bantuan finansial kepada suatu perusahaan.
Mereka hanya meminjamkan bantuan finansial tersebut kepada suatu perusahaan
yang diyakininya sanggup untuk mengembalikannya beserta dengan bunganya.
2.
Employee
merupakan sebagian orang yang mengatur secara langsung dari suatu perusahaan.
Suatu employee biasanya terikat kontrak kerja dari perusahaan dimana ia
bekerja. Seorang employee yang bertanggung jawab untuk mengatur
tugas-tugas dari employee lainnya dan membuat keputusan dalam bisnis
biasa disebut sebagai seorang manajer. Maju mundurnya suatu perusahaan sangat
dipengaruhi terhadap keputusan dari seorang menajer.
3.
Supplier merupakan salah satu stakeholder
yang cukup penting peranannya. Mereke menyediakan bahan-bahan di mana bahan
tersebut sangat diperlukan oleh suatu perusahaan untuk menghasilkan produk
mereka.
4.
Suatu perusahaan tidak akan bertahan
lama tanpa ada seorang customer. Customer merupakan target dari
suatu perusahaan untuk menjualkan hasil produksinya. Untuk menarik seorang customer,
suatu perusahaan harus menyediakan produk dan layanan yang terbaik serta harga
yang bersahabat.
STAKE
HOLDER DALAM PENDIDIKAN
Memperhatikan
uraian di atas maka dapat dipahami bahwa stakeholder dalam pendidikan Islam
adalah berbagai pihak yang memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung
dengan sukses tidaknya proses pendidikan yang berlangsung. Pihak-pihak tersebut
di antaranya adalah kepala sekolah, guru, wali murid, pemerintah, para tokoh
dan masyarakat.
Dengan
kata lain ketika kita berbicara tentang stakeholder sebenarnya kita sedang
dituntut untuk mampu menciptakan suatu lembaga pendidikan lengkap dengan segala
sistem, perangkat dan atribut yang dapat memenuhi harapan masyarakat pada
umumnya dan pihak-pihak yang berkepentingan atau terkait dengan pendidikan
tanpa menanggalkan nilai-nilai dasar kebenaran yang berbasiskan iman.
Dengan
kata lain pendidikan tidak bisa berjalan secara “egois”. Pendidikan harus
menjalin komunikasi, hubungan dan jaringan dengan berbagai pihak untuk
mendukung dan mensukseskan tujuan dan idealitas yang diharapkan. Apalagi dalam
konteks pluralitas budaya bangsa Indonesia.
Dalam
situasi global seperti sekarang dimana dunia memasuki era pasar bebas, maka
pendidikan diharapkan mampu untuk menjawab tantangan ini. Jika mengacu pada
dimensi sejarah tentu stakeholder harus memiliki kemauan kuat untuk hidup di
atas landasan tauhid dengan sebenar-benarnya. Terkait dengan hal ini momentum
hijrah adalah perihal yang sangat urgen untuk kita perhatikan yakni kebersihan
hati dari segala interes duniawi.
Kemudian
jika ditinjau dari sisi fungsi keberadaan stakeholder nyaris serupa dengan
fungsi pemimpin. Dengan demikian stakeholder bagaimanapun harus memiliki rasa
tanggung jawab yang tinggi untuk mewujudkan syariah Allah di muka bumi dalam
setiap aspek kehidupan berdasarkan pada konsentrasi yang dibangun. Dengan
kata lain jika kita fokuskan pembicaraan pada masalah pendidikan, maka
stakeholder pendidikan dalam hal ini harus memiliki pengetahuan dan kemampuan
yang cukup untuk mewujudkan idealitas pendidikan yang Islami.
Selain
itu juga harus memiliki mental kstaria, artinya stakeholder konsisten dengan
kebenaran nilai-nilai Islam tanpa sedikitpun berencana apalagi membuat suatu
program yang berlandaskan hawa nafsu (QS. Shaad : 26). Jika demikian
stakeholder dituntut untuk memahami Islam sebagai keyakinan sekaligus mengerti
strategi pemenangan, utamanya di era di mana globalisasi telah siap menghadang
idealisme umat Islam yang hendak diwujudkan.
REALITAS
MUSLIM KEKINIAN
Membahas
realitas muslim saat ini sebenarnya sangat memprihatinkan. Ditinjau dari segala
aspek umat Islam selalu berada di urutan bawah dan belum ada indikasi akan adanya
peningkatan, seolah tak mau beranjak, muslim identik dengan keterbelakangan.
Atas dasar ini beberapa intelektual muslim mencoba mendiagnosa dan memberikan
tawaran alternatif untuk bangkit dari keterpurukan ini. Di antaranya adalah
Syed M. Naquib Al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
Seperti
dikenal kalangan intelektual modern, Al-Faruqi merupakan penggagas proyek Islamization
of Knowledge (Islamisasi Ilmu, 1982) yang mana ia telah sampai pada
kesimpulan yang dituliskan dalam karyanya bahwa akibat dari kemunduran umat
Islam, yaitu adanya sistem pendidikan yang berusaha menjauhkan umat muslim dari
agamanya sendiri dan dari sejarah kegemilangan yang seharusnya dijadikan
kebanggaan tersendiri atas agama Islam. Oleh sebab itu, ia memberikan solusi,
yaitu perlunya perbaikan sistem pendidikan yang memadukan antara ilmu-ilmu umum
dan agama sebagai langkah membentuk peradaban Islam yang sempurna. Sementara
itu Al-Attas berpendapat bahwa perlu adanya rekontruksi keilmuan secara total
dan mendasar melalui Islamisasi Ilmu. (www.hidayatullah.com).
Melakukan
Islamisasi ilmu khususnya dalam seri manajemen pendidikan Islam di negeri ini
tidaklah mudah. Selain belum adanya ide original dari pemikir muslim modern
tentang manajemen pendidikan Islam pada saat yang sama secara kultur masyrakat
kita masih menganggap hal ini belum mendesak.
Kemudian
jika ditinjau dari aspek historis kenegaraan bangsa ini pernah berada dalam
budaya politik yang otoritarian, sehingga secara psikologis bangsa kita adalah
bangsa yang cukup resisten dengan perbedaan, takut untuk berbeda pendapat dan
mengamini filosofi kehidupan yang sebenarnya harus ditinggalkan. Pemandangan
semcam ini dapat kita saksikan pada pola komunikasi yayasan-yayasan pendidikan.
Seperti semboyan zaman edan seng ora edan ora keduman mengindikasikan
bahwa untuk eksis memang harus mengikuti tuntutan zaman tanpa memperhatikan
aspek kebenaran yang berlandaskan nilai-nilai keimanan.
Dalam
prakteknya memang demikian, tradisi suap, korupsi, kolusi dan nekotisme menjadi
suatu praktek yang diamini oleh masyarakat. Akibatnya sekalipun saat ini sedang
bergulir masa reformasi tradisi itu tetap tidak bisa dilenyapkan. Kasus
cicak-buaya yang terbaru adalah bukti nyata dari eksisnya falsafah hidup yang
keliru. Bahkan lebih lanjut setiap kebijakan diterapkan lebih karena gengsi
dari pada isi.
Lebih
spesifik dalam dunia pendidikan, Hujair AHS menggambarkan bahwa krisis
kehidupan yang melanda negeri ini berawal dari krisis pendidikan. Utamanya
sejak eksisnya pemerintahan orde baru yang belakangan diketahui banyak
menegasikan aspek kemanusiaan; mengorbankan hak asasi manusia, marginalisasi
nilai-nilai manusia, serta tidak diarahkannya pendidikan untuk terwujudnya
kepentingan manusia yang seutuhnya. Lebih dari itu harus diakui bahwa
pendidikan saat ini masih dan hanya sekedar mengantarkan peserta didik dan
masyarakat pada batas mengetahui dan memahami konsep, sementara upaya
internalisasi atas nilai belum bisa dilakukan secara baik. Kesenjangan antara
ilmu di kelas dengan praktik di masyarakat adalah salah satu bukti. Sebagai
contoh kecil, setiap siswa mengerti akan pentingya nilai-nilai kejujuran, adil,
kreatif, tepat waktu, efisiensi, kompetitif dan sebagainya. Namun dalam
praktiknya hal-hal tersebut belum dapat diterapkan, hanya simbol-simbol dan
tampilan fisik saja yang dijalankan oleh peserta didik.
Hal
ini dinilai wajar mengingat paska era indusstrialisasi secara serentak
masyarakat di negeri ini terseret pada upaya penegakan filsafat hidup
positivisme – materialistik dan gaya hidup ekonomi kapitalistik. Ini terlihat
dari perilaku manusia yang cenderung memaksakan kehendak memperoleh kekayaan
material sebanyak mungkin melalui jalan manapun meskipun pada saat yang sama
ritual spiritual tidak ditinggalkannya. Suparlan Suhartono menyatakan, hal ini
bisa terjadi karena didukung oleh lahan subur berupa kepadatan penduduk dunia
dan asumsi kekurangan pangan.
Dari
sisi politik bangsa ini sedang dilanda euforia demokrasi. Padahal secara
substansial politik demokrasi tidak ubahnya absolutisme yang pernah mewujud pada
masa Luis XVI di Perancis. Hanya saja di sini tidak terdapat hirarki atau nasab
yang terjadi seperti pada zaman kerajaan. Akan tetapi kesepakatan para elit
untuk memenuhi keinginannya menjadikan demokrasi sebagai alat efektif untuk
meraih kekuasaan. Sebab pada faktanya yang terpilih selalu para pemegang
kekuatan.
Bila
kita perhatikan komposisi legislatif non partai, Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
hari ini banyak yang berasal dari kalangan elit di daerah-daerah. Pantas jika
disinyalir bahwa di Senayan sering terjadi “money politics” dalam
berdemokrasi, dengan dalih hukum, asas praduga tak bersalah, Lembaga Penegak
Hukum tidak berdaya memberantas korupsi; dan sebagainya. Semua ini tidak lain
karena ada uang di balik perkara atau peristiwa.
Filsafat
hidup positivisme – materialistik ini juga mewabah dalam dunia pendidikan. Saat
ini orang tua lebih menginginkan putra-putrinya memiliki skill sehingga bisa
menjadi seorang dokter, insinyur, menjadi pejabat, konglomerat dan lain
sebagainya, karena profesi-profesi itu sangat dekat dengan uang. Harapan agar
putra-putrinya menjadi orang yang bermoral, beriman, saleh, dan sebagainya,
sudah tidak popular lagi. Karena semua itu kini diposisikan jauh dari uang,
sehingga wajar jika sekolah kini diserahi tanggungjawab mengelola putra-putri
mereka, karena memang sekolahlah yang bisa mewujudkan harapan mereka.
Sadar
akan hal ini sekolah pun mengalami pergeseran paradigma. Dalam rangka memenuhi
kepercayaan masyarakat, pendidikan sekolah sibuk dengan kebijakan-kebijakan
konkret yang menarik simpati. Sistem ranking, kelas unggulan, sistem evaluasi
EBTA dan EBTANAS, dan sebagainya, semuanya dimuarakan pada kepentingan
komersial. Dewasa ini, komersialisasi pendidikan menjadi ciri khas Lembaga
Pendidikan Sekolah baik negeri maupun swasta.
PERKEMBANGAN
MASYARAKAT GLOBAL
Globalisasi
dapat dipahami sebagai proses masuknya ke ruang lingkup dunia. Selain itu
globalisasi juga berarti sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan
peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di
seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer,
dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas
suatu negara menjadi bias. Dalam banyak hal,
globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering
dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang
dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Globalisasi
menunjukkan perubahan besar dalam masyarakat dunia. Apa yang ditunjukkan bukan
sesuatu yang ramah-tamah. Bukan sekadar soal kita menambahkan perlengkapan
modern seperti, video, fashion, televisi, parabola, komputer, dan sebagainya
dalam cara hidup. Kita hidup di dalam dunia yang sedang mengalami transformasi
yang luar biasa, yang pengaruhnya hampir melanda setiap aspek dari kehidupan.
Entah baik atau buruk, kita didorong masuk ke dalam tatanan global yang tidak
sepenuhnya dipahami oleh siapapun, namun dampaknya bisa kita rasakan.
Fenomena
tersebut tidak melulu dalam pengertian ekonomi. Globalisasi juga berdimensi
politik, teknologi, budaya dan keagamaan. Akan sangat keliru, jika menganggap
globalisasi hanya berkaitan dengan sistem-sistem besar, seperti tatanan
perekonomian dunia. Globalisasi bukan soal apa yang ada “di luar sana”, terpisah
langsung, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Ia juga merupakan fenomena “di
sini”, yang langsung mempengaruhi sistem kepercayaan dan kehidupan kita.
Dengan
kian merebak dan canggihnya teknologi media, memungkinkan sebuah masyarakat
menyaksikan bentuk-bentuk kehidupan dan sistem kepercayaan lain yang berbeda.
Sebuah masyarakat juga menyaksikan masyarakat lain dalam macam-macam gaya
hidup, orientasi keagamaan yang berlainan, ragam etnis-suku bangsa, perbedaan
bahasa dan sebagainya.
Bahkan,
bukan itu saja, globalisasi juga merupakan efek jarak jauh (time-space
distanciation). Maksudnya, apa yang terjadi pada satu belahan bumi, bisa
terjadi efek pada belahan bumi yang lain. Misalnya, teror bom di Bali dengan
serta merta mempengaruhi dunia kehidupan masyarakat di belahan bumi lainnya.
Pada intinya, kehidupan masyarakat global saat ini dihadapkan pada pluralitas
kebudayaan yang saling mempengaruhi, yang tidak pernah kita bayangkan
sebelumnya.
Dengan
demikian menjadi satu keniscayaan bagi para stakeholder pendidikan Islam untuk
memahami globalisasi secara mendasar dan universal. Seperti telah diuraikan
sebelumnya globalisasi tidak saja mampu merubah gaya hidup tapi juga pola pikir
bahkan falsafah hidup yang jika tidak diwaspadai dapat merubah ranah keyakinan
generasi muda yang akan datang tak ubahya kultur Barat yang menegasikan wahyu.
Secara
historis globalisasi sarat dengan kepentingan. Suparlan Suhartono menyatakan
bahwa Barat sengaja menjadikan dunia ketiga sebagai objek pemasaran. Untuk
mewujudkan hal ini sedemikian rupa Barat menjadikan media masa sebagai alat
propaganda agar penduduk dunia memiliki sikap konsumerisme yang tinggi.
Secara
umum Globalisasi dapat dikenali dengan beberapa hal berikut;
· Perubahan
dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon
genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global
terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme
memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
· Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda
menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan
internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi
organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
· Peningkatan
interaksi kultural melalui perkembangan media massa
(terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga
internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan
pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya
dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
· Meningkatnya
masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
KOMPETENSI
LULUSAN PENDIDIKAN ISLAM YANG DIBUTUHKAN
Sebagai
manusia yang mengemban tugas kekhalifahan jelas manusia tidak bisa dipisahkan
secara hakikat, utamanya apa yang selama ini dipandang selalu berhadapan, yakni
antara idealisme dan pragmatisme. Keduanya adalah kesatuan yang tidak perlu
diperdebatkan apalagi diperhadapkan. Keduanya saling terkait dan akan mengantar
seorang hamba pada puncak kebahagiaan manakala mampu menempatkan keduanya
secara proporsional tentunya melalui konsep manajemen yang relevan dengan
ajaran Islam serta stakeholder yang berjiwa tauhid.
Dengan
kata lain, umat Islam tidak perlu menjauhkan anak-anaknya dari sains dan
teknologi yang mengajarkan skill untuk bisa eksis dengan aspek keduniaan, namun
pada saat yang sama jangan pula upaya untuk memberi bekal agar mampu bersaing
di era global harus melemparkan ranah spiritual di ruang yang tak berarti.
Dengan
demikian bagaimanakah pendidikan Islam dapat menjalankan fungsinya sebagai
wadah kaderisasi umat sangat bergantung dari komprehensifitas pandangan para
stakeholder pendidikan Islam itu sendiri. Perlu adanya sebuah kesadaran bersama
bahwa pendidikan yang ada harus benar-benar mampu ‘mencetak’ lulusan yang
memiliki keimanan yang prima serta skill yang membanggakan sebagaimana telah
dicontohkan oleh para sahabat, perawi hadis, dan ulama-ulama yang memiliki
integritas iman yang kuat serta multi talenta.
Untuk
menciptakan lulusan yang mandiri secara ekonomi misalkan, maka stakeholder dari
kalangan usahawan dapat dilibatkan oleh pihak sekolah dalam menyusun kurikulum
yang relevan menghadapi persaingan global di masa yang akan datang. Sebab bisa
jadi banyaknya pengangguran di negeri ini tidak semata-mata dikarenakan
sempitnya lapangan pekerjaan, namun bisa pula disebabkan oleh rendahnya skill
alumni sekolah.
Kemudian
dalam konteks pemerintahan Negara Republik Indonesia, dimana pendidikan diatur
dalam UU Sisdiknas maka seyogyanya strategi yang digunakan untuk mewujudkan
semua itu harus bersifat akomodatif terhadap substansi kandungan UU Sisdiknas.
UU Sisdiknas bukanlah penghalang untuk mewujudkan generasi muslim yang cerdas
dan santun. Oleh karena itu komunikasi politik juga perlu dipikirkan oleh para
guru dan pemerhati pendidikan. Agar ide dari bawah tidak terkesan mereduksi UU
dan berbagai permohonan bantuan tidak atas dasar belaskasihan tapi sebuah
kelayakan dan kewajaran.
RANCANGAN KOMPETENSI LULUSAN
Mengacu pada
uraian di atas maka kami mencoba untuk menyertakan rancangan kompetensi lulusan
yang akan kami canangkan.
No
|
Tujuan
|
Program
|
Kegiatan
|
Target Pencapaian
|
1
|
Profil siswa/i cerdas dan santun
|
Pembelajaran berbasis iptek dan
imtaq
|
Integrasi teori keilmuan dan
pemanfaatan media informasi sebagai penunjang pembelajaran
|
Seluruh siswa/i mengerti bahwa
sumber ilmu dari Allah dan pemanfaatan teknologi semata-mata untuk
meningkatkan iman dan taqwa (indikatornya : giat belajar, disiplin dalam
beribadah)
|
2
|
Memiliki jiwa kemandirian
|
Pembelajaran langsung (praktik
kehidupan)
|
Out bond, bazar, bakti sosial
|
Siswa/I memiliki pengalaman
menangani satu persoalan
|
3
|
Peka terhadap tanggung jawab moral
kemasyarakatan
|
Analisis peristiwa aktual
|
melalui forum seminar bulanan/
semesteran dengan menghadirkan tokoh yang berkompeten
|
Sebagai tugas mata pelajaran
Bahasa Indonesia, siswa dapat menuangkan hasil seminar dalam naskah berbentuk
pidato
|
Dengan
cara di atas diharapkan siswa/I tidak saja belajar dengan tradisi menghafal
semata. Namun mengerti akar permasalahan, sebab-sebab, faktor-faktor yang
berpengaruh dan tahapan perumusan penyelesaian masalah secara komprehensif
dengan mengedepankan aspek iman dan ihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Hitt, M.dkk. 2001. Manajemen
Strategi. Edisi Pertama. Jilid 1. Penerbit Salemba Empat.
Jakarta.
Indahwati, R. 2008. Pengukuran Kepuasan Mahasiswa Terhadap Pelayanan
Pendidikan di Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Medan. Proseding Seminar
nasional Akuntansi.
Keputusan
Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara. 2004. Nomor: Kep/25/M.PAN /2/2004/.
Tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan
Instalasi Pemerintah.
Komentar
Posting Komentar