Pendidikan berbasis Masyrakat
PENDAHULUAN
Puji
dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “pendidikan
berbasis masyarakat” Sholawat beserta salam semoga senantiasa dilimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah kepada
zaman yang terang benderang. Penulisan makalah ini
merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Strategi belajar
mengajar di Institut PTIQ Jakarta.
Dalam penulisan
makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis penulisan
maupun materi, mengingat akan kemampuan dan pengetahuan kami tentang materi ini
yang masih terbatas. Untuk itu, kritik dan saran dari temen-teman dan khususnya
kepada Bapak Dosen Pembimbing yaitu H. Rafismen, M.A. kami harapkan, agar
makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat di masa yang akan datang.
Jakarta, 29 Maet 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata pengantar
Daftar isi
BAB I. Pendahuluan
BAB
II. Konsep Dasar Pendidikan Berbasis
Masyarakat
BAB
II. Konsep Dasar Pendidikan Berbasis
Masyarakat
BAB
III. Pendidikan Berbasis Masyarakat:
Beberapa Perspektif
BAB
IV. Paradigma
Fungsionalisme/Development
BAB
V. kesimpulan
Daftar
Pustaka
BAB I
Pendahuluan
Pendidikan pada hakikatnya
merupakan pencerminan kondisi negara dan kekuatan sosial-politik yang tengah
berkuasa. Pendidikan dengan sendirinya merupakan refleksi dari orde penguasa
yang ada (Kartono, 1997:77). Masalah pendidikan akan menjadi masalah politik
apabila pemerintah ikut terlibat di dalamnya. Bahkan menurut Michael W. Apple
sebagaimana dikutip H.A.R. Tilaar (2003: 94-94), kurikulum pendidikan yang
berlaku sebenarnya merupakan sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan.
Melalui kurikulum, pemerintah telah menjadikan pendidikan sebagai sarana
rekayasa dalam rangka mengekalkan struktur kekuasaannya.
Oleh karena itu, masalah
pendidikan sesungguhnya adalah masalah politik, tapi bukan dalam artian yang
praktis. Diakui Paulo Freire (2000:195), sekolah memang merupakan alat kontrol
sosial yang efesien bagi upaya menjaga status qua. Di negara otoriter yang
menganut paham pemerintahan totalitarianisme, pemerintah akan membatasi kebe-basan
individu dengan mengeluarkan kebijakan pendidikan yang uniform bagi semua anak
didik. Bagi negara semacam ini, pendidikan adalah kekuatan politik untuk
mendominasi rakyat. Pemerintah secara mutlak mengatur pendidikan, sebab tujuan
pendidikan baginya adalah membuat rakyat menjadi alat negara (Kartono,
1997:78). Sebagai respon terhadap pandangan ini, muncul paham pemerintahan yang
menerapkan konsep negara demokrasi, yang menghendaki adanya demokratisasi dalam
pendidikan.
Demokrasi dalam bidang
pendidikan merupakan suatu keharusan, agar dapat melahirkan manusia-manusia
yang berwatak demokratis. Reformasi pendidikan melalui demokrasi pendidikan,
menurut Zamroni (t.t.:127-130), dapat dilakukan dalam tiga aspek pendidikan,
yaitu regulatori, profesionalitas, dan manajemen. Aspek regulatori
dititikberatkan pada reformasi kurikulum yang berkaitan dengan perumusan tujuan
pendidikan, penerapan kurikulum berbasis kompetensi (competency-based
curriculum), pergeseran paradigma kerja guru dari responsibility ke arah accountability
dan pelaksanaan evaluasi dengan Konsep Dasar Pendidikan Berbasis
Masyarakat esei dan porto folio.
Aspek profesionalitas
ditujukan untuk mengembalikan hak-hak dan wewenang kepada guru dalam
melaksanakan tugas kependidikannya. Aspek ini dapat ditempuh melalui
pengembangan kesadaran hak-hak politik guru dan pemberian kesempatan kepada
guru untuk mengembangkan dirinya. Sedangkan aspek manajemen pendidikan ditu-jukan
untuk mengubah pusat-pusat pengambilan dan kendali pendidikan. Reformasi aspek
manajemen ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, memberikan kesempatan
yang lebih luas kepada lembaga pendidikan untuk mengambil keputusan berkaitan
dengan pendidikan. Bentuk kebijakan ini adalah menumbuhkan manajemen berbasis
sekolah (school-based management). Kedua, memberikan kesempatan yang luas
kepada warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Kebijakan ini dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan berbasis masyarakat
(community-based education).
Tulisan ini dengan telaah
filosofis bermaksud mengungkap ide-ide dan konsep-konsep dasar yang terkandung
dalam pendidikan berbasis masyarakat. Apa dan bagaimana pendidikan berbasis
masyarakat itu? Mengapa ia perlu dilakukan dalam sebuah penyelenggaraan
pendidik-an? Masalah pendidikan berbasis masyarakat sesungguhnya merupakan
wacana baru yang muncul dalam dunia pendidikan, terutama bagi masyarakat
Indonesia. Ia muncul berkaitan dengan reformasi pendidikan yang menghendaki
adanya pergeseran paradigma pendidikan dari sentralistik ke desentralistik,
bergeser dari praktik pendidikan yang otoriter ke praktik pendidikan demokratis
yang membebaskan, serta dari konsep pendidikan yang berorientasi pemerintah
(state oriented) ke konsep pendidikan yang berorientasi masyarakat (community
oriented).
BAB II
Konsep Dasar Pendidikan
Berbasis Masyarakat
Sebagaimana telah
disebutkan pada bagian awal tulisan ini, demokratisasi pendidikan di
antaranya dapat diwujudkan melalui pene-rapan konsep pendidikan berbasis
masyarakat. Konsep ini menghendaki adanya keterlibatan masyarakat dalam upaya
pengambilan kebijakan-kebijakan pendidikan. Keterlibatan atau partisipasi
masyarakat dalam pendidikan di Indonesia, menurut Suyata (1996:2), bukanlah hal
yang baru. Ia telah dilaksanakan oleh yayasan-yayasan swasta, kelompok
sukarelawan, organisasi-organisasi non-pemerintah, dan bahkan oleh
perseorangan. Secara khusus Azra (2002:5-6) menyebutkan, di kalangan masyarakat
Muslim Indonesia, partisipasi masyarakat dalam rangka pendidikan berbasis
masyarakat telah dilaksanakan lebih lama lagi, yaitu setua sejarah perkembangan
Islam di bumi Nusantara. Hampir seluruh lembaga pendidikan Islam di Indonesia,
mulai dari rangkang, dayah, meunasah (Aceh), surau (Minangkabau), pesantren
(Jawa), bustanul atfal, diniyah dan sekolah-sekolah Islam lainnya didirikan dan
dikembangkan oleh masyarakat Muslim. Lembaga-lembaga ini hanya sekedar contoh bagaimana
konsep pendidikan berbasis masyarakat diterapkan oleh masyarakat Indonesia
dalam lintasan sejarah. Permasalahannya, apa itu masyarakat dalam konsep
pendidikan berbasis masyarakat?
Terma “masyarakat”
merupakan alih bahasa dari society atau community. Society sering diartikan
sebagai “masyarakat umum”, sedangkan community adalah “masyarakat setempat”
atau “paguyuban” (Shadily, 1983: 60-61). Dictionary of Sociology mencoba
mendefinisikan community sebagai berikut.
Community merupakan
sub-kelompok yang mempunyai karakteristik seperti society, tetapi pada skala
yang lebih kecil, dan dengan kepentingan yang kurang luas dan terkoordinir.
Tersembunyi dalam konsep community adalah adanya suatu wilayah teritorial,
sebuah derajat yang dapat dipertimbangkan mengenai perkenalan dan kontak antar
pribadi, dan adanya beberapa basis koherensi khusus yang memisahkannya dari
kelompok yang berdekatan. Community mempunyai perbekalan diri terbatas di
banding society, tetapi dalam batas-batas itu mempunyai asosiasi yang akrab dan
simpati yang lebih dalam. Mungkin ada beberapa ikatan kesatuan khusus dalam
community, seperti ras, asal-usul bangsa atau afiliasi keagamaan (Fairchild,
1977:52).
Basically, there are two
types of communities, geographical and cultural. Geographical communities are
those whose members are united prima-rily by ties of spatial proximity, such as
neighborhoods, villages, town, and cities. Cultural communities are those whose
members are united by ties of a common cultural tradition, such as racial and
ethnic groups. A religious groups may also be considered a cultural community
if its members are closely integrated by ties of kinship and marriage and if
the group has developed a distinctive subculture of its own. (Pada dasarnya,
ada dua jenis masyarakat, geografis dan kultural. Masyarakat geografis adalah
masyarakat yang anggotanya dipersatukan terutama semata-mata oleh ikatan
tempat yang berdekatan, seperti lingkungan, desa, kota, dan kota besar.
Masyarakat kultural adalah masyarakat yang anggotanya dipersatukan oleh ikatan
tradisi budaya umum, seperti kelompok rasial dan kesukuan. Suatu kelompok agama
boleh juga dipertimbangkan sebagai masyarakat kultural jika anggotanya
terintegrasi secara lekat oleh ikatan kekerabatan dan perkawinan, dan jika kelompok
itu telah mengembangkan subkultur yang berbeda dari kultur miliknya).
Berbeda dengan Lenski yang
agak antropologis, Tonnies (dalam Soemardjan dan Soemardi:461-484) secara
sosiologis menggunakan istilah gemeinschaft (community) dan gesellschaft
(society) untuk meng-uraikan bagaimana manusia berhubungan dengan manusia
lainnya. Kedua istilah ini diterjemahkan oleh Soekanto (1999:143-148) menjadi
“paguyuban” dan “patembayan”. Menurut Tonnies, teori gemeinschaft (community)
dimulai dari asumsi tentang adanya kesatuan kehendak manusia (unity of human
wills) sebagai suatu kondisi asli atau alami yang perlu dipelihara, walaupun
terkadang terjadi pemisahan yang nyata. Akar kondisi alami ini berasal dari
koherensi kehendak manusia yang dihubungkan oleh tiga ikatan, yaitu ikatan
darah (gemeinschaft by blood), ikatan tempat (gemeinschaft of place) atau oleh
ikatan karena persamaan jiwa-pikiran (gemeinschaft of mind). Ikatan darah
melahirkan pertalian keluarga (kinship), ikatan tempat melahirkan pertalian
lingkungan (neighborhood), dan ikatan pikiran memunculkan persahabatan
(friendship). Ciri pokok yang membedakan sebuah gemeinschaft (community) dengan
lainnya adalah intimate (hubungan mesra), private (bersifat pribadi), exclusive
(hubungan berlaku untuk anggota saja, bukan untuk di luar anggota), adanya
common will (kehendak bersama), consensus (kesepakatan) serta adanya natural
law (kaidah alami) yang dibuat para anggotanya. Dengan ciri-ciri pokok ini,
Tonnies menyatakan bahwa struktur hubungan pada sebuah gemeinschaft (community)
adalah nyata dan organik (real and organic), sebagaimana diumpamakan organ
tubuh manusia atau hewan.
Adapun gesellschaft
(society), masih menurut Tonnies, merupakan konstruksi dari suatu kumpulan
manusia yang tinggal dan hidup bersama secara damai. Kalau dalam gemeinschaft
mereka dipersatukan oleh semua faktor pemisah, maka dalam gesellschaft, mereka
dipisahkan oleh semua faktor pemersatu, artinya darah, tempat dan pikiran
bukanlah menjadi pengikat kesatuan mereka. Intinya, suatu gesellschaft adalah
publik life, dalam arti hubungannya berlaku bagi semua orang. Seorang yang
memasuki gesellschaft ibarat orang yang memasuki suatu negeri asing. Hal ini
karena suatu gesellschaft bersifat imaginary (dalam pikiran belaka) dan strukur
hubungan yang digunakannya adalah mechanical strucure, sebagaimana diumpamakan
sebuah mesin. Kecenderungan baru menunjukkan bahwa konseptualisasi
community dengan menggunakan perspektif geografis-lokasional kini mulai
ditinggalkan orang. Hal ini, seperti diungkapkan Galbraith (dalam
http://www.ed.gov/pubs/PLLIConf95/comm.html, diakses 3 Mei 2003), telah membuat
intersecting dan overlapping antara community dengan masyarakat dalam
pengertian yang luas. Menurutnya, ada beberapa perspektif lain yang mencoba
memahami masyarakat sebagai sebuah konsep. Pertama, perspektif “kepentingan”
yang telah melahirkan konsep community of interest. Perspektif ini memahami
masyarakat sebagai kelompok individu yang diikat oleh satu atau beberapa satuan
kepentingan dari banyak orang, seperti kesenangan, kepentingan kewarganegaraan
dan politik, atau kepercayaan religius dan spiritual. Menjadi “Klub Penggemar
Bola Basket “, atau barangkali menjadi “Kelompok Pecinta Opera” merupakan
contoh dari masyarakat kepentingan.
Kedua, perspektif “fungsi”
yang memunculkan konsep community of function. Kelompok yang dikenali
berdasarkan fungsi peran dalam kehidupan, seperti profesor, pekerja sosial,
konsultan, pengacara, dokter, petani, kuli bangunan, orangtua, dan sebagainya,
dapat dipertimbangkan sebagai community of function. Ketiga, persepktif
demografis, yaitu memandang masyarakat sebagai kelompok yang diikat oleh
karakteristik demografis umum seperti ras, jenis kelamin, dan umur. Contoh
masyarakat seperti ini adalah “Masyarakat
Afrika-Amerika” atau
“Kelompok Usia Lanjut”. Keempat, perspektif psikografik, yaitu melihat
community sebagai kelompok yang dibentuk berdasarkan komponen-komponen sistem
nilai, kelas sosial, dan gaya hidup. Contohnya adalah “Masyarakat Gay” atau
“Masyarakat Pertanian Desa Kelas Menengah”.
Dari pembahasan di atas,
konsep community kiranya dapat dilihat dari tiga pendekatan; geografis,
antropologis dan sosiologis. Ketiga pendekatan ini melihat community
berdasarkan perspektifnya masing-masing. Pertanyaannya, dari ketiga pendekatan
ini, konsep community manakah yang dapat digunakan dalam pendidikan berbasis
masyarakat? Menurut Cunningham (dalam Husen dan Postlethwite, 1994:900),
community dalam artian yang geografis-sosiologis yang dapat diterapkan dalam
pendidikan berbasis masyarakat. Dengan mengutip Harvard Education Review yang
terbit 1989 dan 1990, Cunningham mencoba mendefinisikan masyarakat bagi
pendidikan berbasis masyarakat, yaitu suatu konfigurasi dari orang-orang
yang kita hampir hidup di dalamnya, seperti halnya orang-orang dengan siapa
kita berbagi ikatan-ikatan umum, dalam bekerja, mencintai, berideologi, bakat
artistik, dalam suatu agama, suatu kultur, suatu pilihan seksual, suatu
perjuangan, suatu gerakan, suatu sejarah, dan seterusnya.
BAB III
Pendidikan Berbasis Masyarakat:
Beberapa Perspektif
Pendidikan berbasis
masyarakat menurut Sihombing (dalam Jalal dan Supriadi, 2001:186) merupakan
pendidikan yang dirancang, dilaksanakan, dinilai dan dikembangkan oleh
masyarakat yang mengarah pada usaha menjawab tantangan dan peluang yang ada di
lingkungan masyarakat tertentu dengan berorientasi pada masa depan. Dengan kata
lain, pendidikan berbasis masyarakat adalah konsep pendidikan “dari masyarakat,
oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Dengan ini Sihombing menegaskan bahwa
yang menjadi acuan dalam memahami pendidikan berbasis masyarakat adalah
pendidikan luar sekolah, karena pendidikan luar sekolah itu bertumpu pada
masyarakat, bukan pada pemerintah. Ia dapat mengambil bentuk Pusat Kegiatan
Belajar-Meng-ajar (PKBM) yang tumbuh subur dan masyarakat berlomba-lomba untuk
mendirikannaya. Di seluruh Indonesia hingga tahun 2000-an terdapat sekitar 760
PKBM. Hal senada juga diungkapkan oleh Supriadi (2000: 365-368) yang mengkaji
fenomena TKA/TPA yang muncul di Indonesia semenjak 1980-an. Ia menyebutkan
bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan proses pendidikan yang lahir
dari kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya ia tak perlu dikekang oleh
aturan-aturan formal dari pemerintah. Dari sini, fenomena TKA/TPA kiranya dapat
dijadikan model alternasi bagi pengembangan pendidikan berbasis masyarakat,
terutama dari segi keterlepasannya dari birokrasi pemerintah. Ia senantiasa
terwujud sebagai bukti dari akomodasi kehendak masyarakat untuk membelajarkan
anak-anaknya.
Pendidikan berbasis masyarakat
sesungguhnya bukan hanya dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan luar
sekolah (nonformal),sebagaimana diungkapkan Sihombing dan Supriadi di atas. UU
No. 20 Tahun 2003 pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa “Jalur pendidikan terdiri
atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi
dan memperkaya”. Oleh karena itu, pendidikan berbasis masyarakat dapat juga
mengambil jalur formal, nonformal dan informal. Dalam kaitan ini. Pendidikan
berbasis masyarakat dengan proses formal biasanya merupakan pendidikan yang
diselenggarakan oleh organisasi birokrasi formal semisal sekolah atau
universitas. Pendidikan berbasis masyarakat dengan proses nonformal dapat
mengambil bentuk pendidikan di luar kerangka sistem formal yang menyediakan
jenis pelajaran terpilih, seperti di perpustakaan atau museum. Adapun
pendidikan berbasis masyarakat dengan proses informal merupakan pendidikan yang
diperoleh individu melalui interaksinya dengan orang lain di tempat kerja,
dengan keluraga, atau dengan teman.
Ada beberapa perspektif
yang mencoba mencari landasan konseptual bagi pendidikan berbasis masyarakat.
Perspektif historis melihat pendidikan berbasis masyarakat sebagai sebuah
perkembangan lanjut dari pendidikan berbasis sekolah. Perspektif ini dikemukakan
oleh Surakhmad (2000:20) yang menyatakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat
merupakan perkembangan lebih lanjut dari pendidikan berbasis sekolah. Dalam
pandangannya, “konsep pengelolaan pendidikan berbasis sekolah (PBS) adalah
konsep yang sangat mungkin perlu kita dahulukan sebagai titik tumbuh konsep
pendidikan berbasis masyarakat”.
Dengan
perspektif itu Surakhmad selanjutnya menegaskan bahwa yang dimaksud pendidikan
berbasis masyarakat adalah pendidikan yang dengan sadar menjadikan masyarakat
sebagai persemaian dasar perkembangan. Konsep pendidikan berbasis masyarakat
merupakan usaha peningkatan rasa kesadaran, kepedulian, kepemilikan,
keterlibatan, dan tanggung jawab masyarakat. Selanjutnya Surakhmad menawarkan
enam kondisi yang dapat menentukan terlaksananya konsep pendidikan berbasis
masyarakat.
1)
Masyarakat sendiri memiliki
kepedulian dan kepekaan mengenai pendidikan.
2)
Masyarakat sendiri telah menyadari
pentingnya pendidikan bagi kemajuan masyarakat.
3)
Masyarakat sendiri telah merasa
memiliki pendidikan sebagai potensi kemajauan mereka.
4)
Masyarakat sendiri telah mampu
menentukan tujuan-tujuan pendidikan yang relevan bagi mereka.
5)
Masyarakat sendiri telah aktif
berpartisipasi di dalam penyelenggaraan pendidikan.
Berbeda dengan Surakhmad
yang melihat pendidikan berbasis masyarakat dari aspek titik-tumbuhnya, P.M.
Cunningham (dalam Husen dan Postlethwaite, 1994:900-901) memandang pendidikan
berbasis masyarakat dari perspektif sosiologis. Menurutnya, pendidik-an
berbasis masyarakat (community-based education) merupakan hal yang kontras
dengan pendidikan masyarakat (community education) yang diselenggarakan negara.
Kalau pendidikan masyarakat diartikan sebagai proses pendidikan untuk membangun
potensi dan partisipasi masyarakat di dalam upaya proses pengambilan keputusan
secara lokal, maka pendidikan berbasis masyarakat merupakan respon dari
ketidakmampuan negara dalam melayani penduduknya untuk menyelesaikan berbagai
aktivitas pembangunan, baik dalam bidang ekonomi, rehabilitasi perumahan,
pelayanan kesehatan, latihan kerja, pemberantasan buta huruf, dan maupun bidang
pendidikan. Premis yang digunakan dalam pendidikan berbasis masyarakat adalah
bahwa pendidikan itu tidak dapat dipisahkan dari kultur dan masyarakat tempat
pendidikan itu terjadi. Ia senantiasa berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat
(empowerment of communities). Jarang terjadi pendidikan berbasis masyarakat
dilakukan oleh sekolah-sekolah negeri. Hal ini karena masalah pendidikan
berbasis masyarakat itu menyangkut hubungan antara kekuasaan (negara) dan
kemiskinan (masyarakat), bukan partisipasi warganegara (citizen participation)
dalam pendidikan. Oleh karena itu, paradigma yang digunakan pendidikan berbasis
masyarakat adalah paradigma konflik. Sedangkan pendidikan masyarakat senantiasa berasaskan
pada paradigma fungsionalime. Paradigma ini mengasumsikan adanya “sekolah
negeri” dan keinginan untuk menggunakannya secara efisien. Sekolah-sekolah ini
dibuat agar menjadi sumber daya masyarakat, dalam rangka meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan.
BAB IV
Paradigma
Fungsionalisme/Development
Paradigma Konflik/Change
1.
Karakteristik. Konsensus- Reformasi
Integrasi, Konflik-Transformasi
2.
Pengertian. Masyarakat, Masyarakat
Geografis, Masyarakat Geografis- Sosiolo-gis
3.
Format Pendidikan. Lembaga Formal, Lembaga
Formal dan Nonformal
4.
Program Pendidikan. Pendidikan
Masyarakat, Pembangunan Masyarakat dan Community College, Pendidikan Berbasis
Masyarakat, Pendidikan Popular dan Social Movement Learning
5.
Produk Pengetahuan Positivistik Logis
Partisipatori-Transformasi
6.
Kultur High Culture, seperti Museum
dan Perpustakaan Popular Culture, seperti Teaterdan Seni Popular
7.
Akar Historis Henry Morris (Inggris)
dan Frank Manley (USA) Father Coady
(Kanada), Paulo Freire (Brasil), Rajesh Tandon (India), Myles Horton (USA) dan
Julius Nyerere (Tanzania)
Tabel Cunningham di atas
secara sepintas menjelaskan bahwa paradigma pendidikan fungsionalis senantiasa
melaksanakan program pendidikannya dengan apa yang disebut pendidikan
masyarakat (community education) dan pembangunan masyarakat (community
development). Oleh karena teori fungsionalis yang dijadikan landasan
paradigmanya, maka program pendidikan semacam ini senantiasa berupaya
mempertahankan status quo. Pendidikan dalam teori fungsionalis telah dijadikan
instrumen untuk mencapai stabilitas atau equlibrium di atas konsensus para
anggota masyarakatnya (Nasikun, 1995:9-15). Selain itu, tabel di atas juga
menjelaskan bahwa berbeda dengan paradigma fungsionalis, paradigma konflik
telah menekankan program pendidikannya pada apa yang disebut pendidikan
berbasis masyarakat (community-based education). Paradigma konflik menurut
Nasikun (1995:16-25) mengindikasikan bahwa perubahan sosial terjadi karena
adanya unsur-unsur yang bertentangan di dalam masyarakat secara terus-menerus,
karena perbedaan otoritas. Otoritas yang berbeda telah melahirkan dua
kepentingan yang berlawanan. Suatu kelompok senantiasa mempertahankan status
quo, dan kelompok yang lain berupaya menghendaki perubahan dan perombakan. Dua
kelompok ini senantiasa berada pada posisi konflik, demi mempertahankan
kepentingannya. Ada tiga bentuk pengendalian konflik, yaitu konsiliasi, mediasi
dan arbitrasi. Ketiga bentuk ini dipandang efektif bagi mekanisme pengendalian
konflik, yang pada gilirannya konflik yang ada merupakan sebuah kekuatan yang
dapat mendorong terjadinya perubahan sosial tanpa akhir. Pendidikan berbasis
masyarakat menurut Cunningham senantiasa menghendaki adanya perubahan sosial
yang dihasilkan dari konflik yang terjadi antara kelompok pro status quo
(pemerintah) dengan kelompok yang anti status quo (masyarakat). Konflik semacam
ini kiranya diperlukan dalam rangka penciptaan masyarakat transformatif.
Perspektif lain yang
digunakan dalam melihat konsep pendidikan berbasis masyarakat adalah perspektif
politik. Di antara tokohnya adalah Dean Nielsen. Nielsen (dalam Jalal dan
Supriadi, 2001:175) menekankan bahwa pendidikan berbasis masyarakat
(community-based education) merupakan hal yang berlawanan dengan pendidikan
berbasis negara (state-based education). Hal ini karena masyarakat dengan makna
community biasanya dilawankan dengan negara. Dalam konteks Indonesia,
pendidikan berbasis masyarakat menunjuk kepada tujuh pengertian, yaitu (1) peran
serta masyarakat dalam pendidikan, (2) pengambilan keputusan berbasis sekolah,
(3) pendi-dikan yang diberikan oleh sekolah swasta atau yayasan, (4) pendidikan
dan pelatihan yang diberikan oleh pusat pelatihan milik swasta, (5) pendidikan
luar sekolah yang disediakan Pemerintah, (6) pusat kegiatan belajar masyarakat,
(7) dan pendidikan luar sekolah yang diberikan oleh organisasi akar rumput
(grassroot organizations), seperti LSM dan pesantren.
Dari pengertian
pendidikan berbasis masyarakat yang luas dan beragam itu, Nielsen memplot dan
memetakannya berdasarkan dua dimensi, yaitu keterlibatan pemerintah terhadap
swasta dan derajat kepemilikan masyarakat. Dilihat dari dimensi pertama, pendidikan
berbasis masyarakat adalah pendidikan yang sebagian besar
keputusan-keputusannya dibuat oleh masyarakat (education in which a high
proportion of decisions are made by community). Berdasarkan pengertian ini,
sebagaimana terlihat pada Gambar 1, “satu-satunya pendidikan yang sepenuhnya
berbasis masyarakat adalah pesantren yang memiliki kurikulum sendiri,
mengusahakan pendanaan sendiri dan melayani kebutuhan masyarakatnya”, demikian
tulis Nielsen. Sedangkan dimensi kedua dari pemetaan pendidikan berbasis masyarakat
ala Nielsenian ini dilakukan dengan jalan memplot tingkat pengendalian
masyarakat terhadap program pendidikannya. Berdasarkan dimensi kedua ini,
seperti ditunjukkan oleh Gambar 2, pesantren merupakan contoh kepemilikan
masyarakat secara penuh (full ownership). Di dalam lembaga pesantren,
masyarakat bukan hanya sekedar mendukung (support), terlibat (involvement) atau
menjadi mitra (partnership), tapi masyarakat sepenuhnya adalah menjadi pemilik
pesantren.
Implikasi penerapan konsep
pendidikan berbasis masyarakat ala Nielsen di atas adalah munculnya public
school dan private school. Dalam pandangan Soedijarto (1997:314) dalam dunia
pendidikan dikenal istilah public school dan private school. Di negara-negara
seperti Amerika, Jerman dan Kanada, “sekolah pemerintah” lebih dikenal sebagai
public school (sekolah umum). Hal ini karena sekolah pemerintah itu diabdikan
untuk kepentingan umum, dan dibiayai dari dana masyarakat yang diperoleh
melalui sistem perpajakan. Kondisi ini berbeda dengan private school yang
diperuntukkan dan diselenggarakan oleh masyarakat tertentu. Masih menurut
Soedijarto, sekolah-sekolah swasta masuk pada kategori private school, karena
diselenggarakan oleh kelompok masyarakat untuk kepentingan kelompoknya. Dalam
hal ini, sekolah-sekolah swasta di Indonesia terbagi dalam empat kelompok,
yaitu
·
sekolah swasta yang keberadaannya
untuk kepentingan agama,
·
sekolah swasta yang keberadaannya
mengabdi kepada kepentingan mutu,
·
sekolah swasta yang keberadaannya
mengabdi kepada pendidikan bagi kelom-pok masyarakat yang belum terjangkau oleh
pelayanan pendidikan yang disedia kan pemerintah, dan
·
sekolah swasta yang
penyelenggaraannya karena kepentingan lain dari para penyelenggaranya.
Dari beberapa perspektif
di atas, penulis kiranya lebih cenderung kepada perspektif politik untuk
membahas pendidikan berbasis masyarakat. Mengapa? Pendidikan berbasis
masyarakat, sebagaimana diungkapkan Sharon Murphy (2001:16), senantiasa
didasarkan pada teori dan pedagogik kritis (grounded in critical theory and
pedagogy). Di dalam pedagogik kritis, pendidikan merupakan arena perjuangan
politik. Jika dalam paradigma pendidikan konservatif pendidikan bertujuan untuk
menjaga status quo, sementara bagi paradigma pendidikan liberal untuk perubahan
kaum moderat, maka dalam pedagogik kritis, pendidikan diarahkan pada terjadinya
perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat di mana
pendidikan berada. Dalam perspektif pedagogik kritis, urusan pendidikan adalah
melakukan refleksi kritis terhadap the dominant ideology ke arah transformasi
sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang untuk bersikap kritis
terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan
advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan
tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif maupun berjarak dengan
masyarakat. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan
sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan
sistem sosial baru yang lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus
mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas
dan kritis dalam rangka transformasi sosial. Dengan kata lain, tugas utama
pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi
karena sistem dan struktur yang tidak adil.
BAB V
kesimpulan
Dari beberapa uraian di
atas kiranya dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan
pendidikan yang sebagian besar keputusan kependidikannya ditentukan oleh
masyarakat, mulai dari masalah input, proses dan output pendidikan, hingga masalah
pendanaan. Sebuah model yang dapat dijadikan contoh bagi pendidikan berbasis
masyarakat adalah lembaga pesantren yang memiliki kurikulum sendiri,
mengusahakan pendanaan sendiri dan melayani kebutuhan masyarakatnya sendiri.
Sayangnya, tidak semua pesantren Konsep Dasar Pendidikan Berbasis
Masyarakat mampu melakukan hal ini.
Konsep pendidikan berbasis
masyarakat kiranya merupakan hal yang urgen untuk dilakukan dalam rangka
demokratisasi pendidikan. Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perjuangan
politik menuju transformasi sosial. Pendidikan berbasis masyarakat merupakan
bagian dari agenda pedagogik kritis yang senantisa berupaya membebaskan
pendidikan dari belenggu kekuasaan. Manakala pendidikan telah terbebas dari
dominasi dan hegemoni kekuasaan, itu berarti demokratisasi pendidikan dapat
diwujudkan.
Daftar Pustaka
Abdillah, Masykuri. “Islam
dan Masyarakat Madani” dalam http://kompas.com/kompas %2Dcetak/9902/27/opini/isla04.htm.
(diakses 3 Mei 2003).
“Pendidikan Kewargaan dan
Demokrasi” dalam http://www.kompas.com/%2Dcetak/ 0103/14/opini/pend04.htm.
Artikel ini telah dimuat pada harian Kompas, 14 Maret 2001. (Diakses 3 Mei
2003).
Freire, Paulo. Politik
Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro
dan Fuad Arif Fudi-yartanto. Cet. II; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Kartono, Kartini. Tinjauan
Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik dan Sugesti. Cet.
I; Jakarta: Pradnya Paramita, 1997.
Maarif, Ahmad Syafii.
“Ketika Pendidikan Tidak Membangun Kultur Demokrasi” prawacana untuk Zamroni,
Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society. Cet. I; Yogyakarta:
Bigraf, t.t.
Magnis-Suseno, Franz.
“Demokrasi: Tantangan Universal” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher
(Eds.), Agama dan Dialog Antar Peradaban. Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996.
Shadily, Hassan. Sosiologi
Untuk Masyarakat Indonesia. Cet. IX; Jakarta: Bina Aksara, 1983.
Shiddiqi, Nourouzzaman.
Jeram-Jeram Peradaban Muslim. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Sihombing, Umberto.
“Konsep dan Pengembangan Pendidikan Berbasis Masyarakat” dalam Fasli Jalal dan
Dedi Supriadi (Eds.), Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Cet.
I; Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. 2001.
Smucker, Orden C. “The
Community Approach to Education” dalam Wilbur B. Brookover (Ed.), A Sociology
of Education. New York: American Book Company, 1955.
Soedijarto. Memantapkan
Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Menyiapkan Manusia Indonesia Memasuki
Abad ke-21. Jakarta: Proyek Perencanaan Terpadu dan Ketenagaan Diklusepora,
1997.
Soekanto, Soerjono.
Sosiologi: Suatu Pengantar. Edisi Keempat Cet. XXVII; Jakarta: Rajawali Pers,
1999.
Abdillah,
Masykuri. “Islam dan Masyarakat Madani” dalam http://kompas.com/kompas %2Dcetak/9902/27/opini/isla04.htm.
(diakses 3 Mei 2003).
Komentar
Posting Komentar