KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN Menurut Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Judul bahasan
ini mendahulukan kata
keadilan daripada
kesejahteraan. Memang,
terjadi silang pendapat
mengenai apa
yang harus didahulukan,
apakah kesejahteraan atau
keadilan?
Dari sekian
ayat ditemukan isyarat
perlunya mendahulukan
keadilan. Perhatikan misalnya
surat Al-Ma-idah (5): 8,
Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada
takwa.
Lalu hubungkanlah dengan
firman-Nya:
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi. (Tetapi) mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya (QS Al-A'raf [7]: 96)
Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, "Mohonlah ampun
kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat
kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula
di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh [71]:
10-12).
Dari rangkaian ayat di
atas terlihat bahwa
keadilan akan
mengantarkan kepada
ketakwaan, dan ketakwaan
menghasilkan
kesejahteraan. Atas
dasar pertimbangan tersebut,
maka
pembahasan pertama tulisan ini
adalah tentang keadilan.
MAKNA KEADILAN
Keadilan adalah
kata jadian dari kata "adil" yang terambil
dari bahasa
Arab " 'adl". Kamus-kamus bahasa
Arab
menginformasikan bahwa
kata ini pada mulanya berarti "sama".
Persamaan tersebut
sering dikaitkan dengan
hal-hal yang
bersifat imaterial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
"adil" diartikan: (1)
tidak berat sebelah/tidak
memihak, (2)
berpihak kepada
kebenaran, dan (3)
sepatutnya/tidak
sewenang-wenang.
"Persamaan" yang
merupakan makna asal kata "adil" itulah yang
menjadikan pelakunya "tidak berpihak", dan
pada dasarnya pula
seorang yang adil "berpihak
kepada yang benar"
karena baik
yang benar
maupun yang salah
sama-sama harus memperoleh
haknya. Dengan demikian, ia melakukan
sesuatu "yang patut"
lagi "tidak
sewenang-wenang".
Keadilan diungkapkan oleh
Al-Quran antara lain
dengan
kata-kata al-'adl, al-qisth,
al-mizan, dan dengan
menafikan
kezaliman, walaupun
pengertian keadilan tidak selalu menjadi
antonim kezaliman. 'Adl, yang
berarti "sama", memberi
kesan
adanya dua
pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak,
tidak akan terjadi
"persamaan".
Qisth arti asalnya adalah
"bagian" (yang wajar dan patut). Ini
tidak harus
mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian
dapat saja diperoleh oleh satu
pihak? Karena itu, kata qisth
lebih umum
daripada kata 'adl,
dan karena itu pula ketika
Al-Quran menuntut
seseorang untuk berlaku
adil terhadap
dirinya sendiri,
kata qisth itulah
yang digunakannya.
Perhatikan firman Allah dalam
surat Al-Nisa' (4): 135,
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah,
walaupun terhadap dirimu sendiri...
Mizan berasal dari akar kata wazn
yang berarti timbangan. Oleh
karena itu, mizan, adalah "alat untuk
menimbang". Namun dapat
pula berarti
"keadilan", karena bahasa
seringkali menyebut
"alat" untuk makna "hasil
penggunaan alat itu".
KEADILAN DALAM AL-QURAN
Keadilan yang
dibicarakan dan dituntut
oleh Al-Quran amat
beragam, tidak hanya pada proses
penetapan hukum atau terhadap
pihak yang
berselisih, melainkan Al-Quran
juga menuntut
keadilan terhadap diri sendiri,
baik ketika berucap, menulis,
atau bersikap batin.
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil walaupun terhadap kerabat...! (QS Al-An'am [6]:
152).
Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang
menulis dengan adil (QS Al-Baqarah [2]: 282).
Kehadiran para
Rasul ditegaskan Al-Quran
bertujuan untuk
menegakkan sistem kemanusiaan yang
adil.
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan
membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar
manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]:
25).
Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai
"perjanjian Ilahi"
yang melahirkan tanggung
jawab menentang kezaliman
dan
menegakkan keadilan.
Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
(hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia." Dia
(Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga
keturunan-keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku
ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim"
(QS Al-Baqarah [2]: 124).
Demikian terlihat bahwa
kepemimpinan dalam pandangan ayat di
atas bukan sekadar kontrak sosial,
tetapi juga menjadi kontrak
atau perjanjian
antara Allah dan
sang pemimpin untuk
menegakkan keadilan.
Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa
alam raya ini ditegakkan atas
dasar keadilan:
Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan
(neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman [55]: 7)
Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan
tentang
keadilan, dari
tauhid sampai keyakinan
mengenai hari
kebangkitan, dari nubuwwah
(kenabian) hingga kepemimpinan, dan
dari individu
hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi
terciptanya kesempurnaan pribadi,
standar kesejahteraan
masyarakat, dan
sekaligus jalan terdekat menuju
kebahagiaan
ukhrawi.
RAGAM MAKNA KEADILAN
Ketiga kata -qisth, 'adl, dan
mizan- pada berbagai bentuknya
digunakan oleh Al-Quran dalam konteks perintah kepada
manusia
untuk berlaku adil.
Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan
al-qisth (keadilan)" (QS Al-A'raf [7]: 29)
Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan
berbuat ihsan (kebajikan) (QS Al-Nahl [16]: 90)
Dan langit ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca
(keadilan) agar kamu tidak melampaui batas tentang
neraca itu (QS Al-Rahman [55]: 7-8).
Ketika Al-Quran menunjuk Zat Allah
yang memiliki sifat adil,
kata yang digunakanNya hanya
Al-qisth (QS Ali 'Imran [31: 18).
Kata 'adl
yang dalam berbagai
bentuk terulang dua puluh
delapan kali dalam Al-Quran, tidak
satu pun yang dinisbatkan
kepada Allah
menjadi sifat-Nya. Di
sisi lain, seperti
dikemukakan di atas, beragam aspek
dan objek keadilan
telah
dibicarakan oleh
Al-Quran; pelakunya pun demikian. Keragaman
tersebut mengakibatkan keragaman
makna keadilan.
Paling tidak ada empat makna
keadilan yang dikemukakan
oleh
para pakar agama.
Pertama, adil dalam arti
"sama"
Anda dapat
berkata bahwa si A adil, karena
yang Anda maksud
adalah bahwa dia memperlakukan sama
atau tidak membedakan
seseorang dengan
yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud adalah
persamaan dalam hak.
Dalam
surat Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan
bahwa,
Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia,
maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...
Kata "adil" dalam ayat
ini -bila diartikan
"sama"- hanya
mencakup sikap
dan perlakuan hakim
pada saat proses
pengambilan keputusan.
Ayat ini menuntun sang hakim
untuk menempatkan pihak-pihak
yang bersengketa
di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal
tempat duduk, penyebutan nama
(dengan atau tanpa embel-embel
penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan,
dan
memikirkan ucapan mereka, dan
sebagainya yang termasuk dalam
proses pengambilan keputusan.
Apabila persamaan dimaksud
mencakup keharusan mempersamakan
apa yang mereka terima dari
keputusan, maka
ketika itu persamaan tersebut
menjadi wujud
nyata kezaliman.
Al-Quran mengisahkan dua orang
berperkara yang datang kepada
Nabi Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang
pertama memiliki
sembilan puluh sembilan ekor
kambing betina, sedangkan orang
kedua hanya
memiliki seekor. Pemilik
kambing yang banyak
mendesak agar diberi pula yang
seekor itu agar genap seratus.
Nabi Daud
tidak memutuskan perkara
ini dengan membagi
kambing-kambing itu
dengan jumlah yang
sama, melainkan
menyatakan bahwa
pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu
telah berlaku aniaya atas
permintaannya itu (QS
Shad [38]:
23).
Kedua, adil dalam arti
"seimbang"
Keseimbangan ditemukan
pada suatu kelompok yang di
dalamnya
terdapat beragam bagian yang
menuju satu tujuan
tertentu,
selama syarat dan kadar tertentu
terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat ini,
kelompok itu dapat
bertahan
dan berjalan memenuhi tujuan
kehadirannya.
Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat
durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang
menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan
mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang)
(QS Al-Infithar [82]: 6-7).
Seandainya ada salah satu anggota
tubuh manusia berlebih atau
berkurang dari
kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti
tidak akan terjadi kesetimbangan
(keadilan).
Contoh lain tentang keseimbangan adalah
alam raya bersama
ekosistemnya. Al-Quran menyatakan
bahwa,
(Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha
Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah
berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak
seimbang? (QS Al-Mulk [67]: 3)
Di sini,
keadilan identik dengan kesesuaian
(keproporsionalan), bukan
lawan kata "kezaliman". Perlu
dicatat bahwa keseimbangan tidak
mengharuskan persamaan kadar
dan syarat
bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja
satu bagian berukuran kecil atau
besar, sedangkan kecil
dan
besarnya ditentukan oleh fungsi
yang diharapkan darinya.
Petunjuk-petunjuk Al-Quran
yang membedakan satu dengan
yang
lain, seperti pembedaan lelaki dan
perempuan pada beberapa hak
waris dan
persaksian -apabila ditinjau
dari sudut pandang
keadilan- harus
dipahami dalam arti
keseimbangan, bukan
persamaan.
Keadilan dalam
pengertian ini menimbulkan
keyakinan bahwa
Allah Yang Mahabijaksana dan Maha
Mengetahui menciptakan dan
mengelola segala
sesuatu dengan ukuran,
kadar, dan waktu
tertentu guna
mencapai tujuan. Keyakinan
ini nantinya
mengantarkan kepada pengertian
Keadilan Ilahi.
Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang
amat teliti (QS Al-Rahman [55]: 5).
Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukurannya (QS Al-Qamar [54]:
49)
Ketiga, adil adalah
"perhatian terhadap hak-hak
individu dan
memberikan hak-hak itu kepada
setiap pemiliknya"
Pengertian inilah
yang didefinisikan dengan
"menempatkan
sesuatu pada
tempatnya" atau "memberi pihak
lain haknya
melalui jalan
yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman",
dalam arti pelanggaran
terhadap hak-hak pihak
lain. Dengan
demikian menyirami tumbuhan adalah
keadilan dan menyirami duri
adalah lawannya.
Sungguh merusak permainan (catur),
jika
menempatkan gajah
di tempat raja, demikian
ungkapan seorang
sastrawan yang arif.
Pengertian keadilan seperti ini,
melahirkan keadilan sosial.
Keempat, adil yang dinisbatkan
kepada Ilahi
Adil di sini berarti
"memelihara kewajaran atas berlanjutnya
eksistensi, tidak mencegah
kelanjutan eksistensi dan perolehan
rahmat sewaktu terdapat banyak
kemungkinan untuk itu."
Semua wujud tidak memiliki hak
atas Allah. Keadilan Ilahi pada
dasarnya merupakan
rahmat dan kebaikan-Nya. KeadilanNya
mengandung konsekuensi bahwa
rahmat A h Swt. tidak
tertahan
untuk diperoleh sejauh makhluk itu
dapat meraihnya.
Sering dinyatakan
bahwa ketika A mengambil hak
dari B, maka
pada saat itu juga B mengambil hak
dari A. Kaidah ini
tidak
berlaku untuk
Allah Swt., karena Dia memiliki hak atas semua
yang ada, sedangkan semua yang ada
tidak memiliki sesuatu di
sisi-Nya.
Dalam pengertian
inilah harus dipahami kandungan
firman-Nya
yang menunjukkan Allah Swt.
sebagai qaiman bilqisth
(yang
menegakkan keadilan)
(QS Ali 'Imram [3]: 18), atau ayat lain
yang mengandung arti keadilan-Nya
seperti:
Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambaNya
(QS Fushshilat [41]: 46).
KEADILAN MENCAKUP SEMUA HAL
Seperti dikemukakan di atas, Allah
menciptakan dan mengelola
alam raya
ini dengan keadilan,
dan menuntut agar keadilan
mencakup semua aspek kehidupan.
Akidah, syariat atau
hukum,
akhlak, bahkan cinta dan benci.
Dan Kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil di antara
wanita-wanita (istri-istrimu dalam hal cinta),
walaupun kamu berusaha keras ingin berbuat demikian.
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), dan membiarkan yang lain
terkatung-katung (QS Al-Nisa' [4]: 129).
Hai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu.
Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau
miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (QS
Al-Nisa' [14]: 135)
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil (QS
Al-Ma-idah [5]: 8)
Kebencian tidak
pernah dapat dijadikan
alasan untuk
mengorbankan keadilan, walaupun kebencian itu tertuju kepada
kaum non-Muslim, atau didorong
oleh upaya memperoleh ridhaNya.
Itu sebabnya Rasul Saw.
mewanti-wanti agar,
Berhati-hatilah terhadap doa (orang) yang teraninya,
walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara
doanya dengan Tuhan.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
"tuqsithu" (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir)
yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak
mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain
untuk mengusir kamu... (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
---------------- (bersambung 2/3)
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai
Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
|
Komentar
Posting Komentar