Kafaah dalam perkawinan

1.      Pendahuluan
Puji serta syukur selalu tercurahkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan berbagai macam nikmat-Nya, nikmat iman, islam, serta sehat wal’afiat. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Rosullallah SAW. yang telah membawa ummatnya dari zaman kebodohan sampai zaman sekarang yang penuh ilmu pengetahuan.
            Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai bentuk pelaksanaan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah fiqih munakahat, yang dimana didalamnya menyuguhkan pembahasan ringkas seputar kafaah dalam islam. Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini bisa bermanfaat bagi banyak orang.
            Terimakasih kepada dosen mata kuliah fiqih munakahat, serta pihak-pihak lain yang berperan dalam pembuatan makalah ini.

Rumusan masalah
                               I.            Apa itu kafa’ah  ?
                            II.            Apa hukum kafa’ah ?
                         III.            Apa hikmah dari kafa’ah ?

2.      Pembahasan
A.    Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah berasal dari bahasa Arab dari kata (كفىء  ) , berarti sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara. Contoh dalam Al-Qur’an adalah dalam surat Al-Ikhlas ayat 4 :
 وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ٤
yang berarti “ dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya”.
 Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut “kafa’ah” , artinya ialah sama, serupa, seimbang, atau serasi. Menurut H. Abd. Rahman Ghazali, kafa’ah atau kufu’, menurut bahasa, artinya “setaraf, seimbang, atau keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat atau sebanding” .
Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam akhlak serta kekayaan.
Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah SWT adalah sama. Hanya ketaqwaannyalah yang membedakannya.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT: 
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 )
         Kafa’ah dalam perkawinan, merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan  yang tidak seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu, boleh dibatalkan.
B.     Landasan Kafa’ah
            Kafa’ah diatur dalam pasal 61 KHI dalam membicarakan pencegahan perkawinan, dan yang diakui sebagai kriteria kafaah itu adalah apa yang telah menjadi kesepakatan ulama yaitu kualitas ke-beragamaan. Pasal 61 berbunyi: “Tidak se-kufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak se-kufu karena perbedaan agama atau ikhtilafu al-dien.
            Ibnu Hazim berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu’. Dia berkata: Semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua wanita Muslimah, asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah bersaudara. Kendatipun ia anak seorang hitam yang tak dikenal umpamanya, namun tak dapat diharamkan kawin dengan anak Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang sangat Fasiq, asalkan tidak berzina ia adalah kufu’ untuk wanita Islam yang fasiq, asal bukan  perempuan berzina. Alasannya adalah firman-firman allah:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠
Artinya: Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujarat ayat 10)
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
Artinya:  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’: 3 )
Tujuan disyari'atkannya kafa'ah adalah untuk menghindari celaan yang terjadi apabila pernikahan dilangsungkan antara sepasang pengantin yang tidak sekufu (sederajat) dan juga demi kelanggengan kehidupan pernikahan, sebab apabila kehidupan sepasang suami istri sebelumnya tidak jauh berbeda tentunya tidak terlalu sulit untuk saling menyesuaikan diri dan lebih menjamin keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian kafa’ah hukumnya adalah dianjurkan, seperti dalam hadits Abu Hurairah yang dijadikan dasar tentang Kafa’ah, yaitu:
وعن أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى اللة عليه وسلم قال: تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لمالها, ولحسبها, ولجمالها, ولدينها, فاظفر بذات الدين تربت يداك. متفق عليه مع بقية السبعة.
Artinya: “Wanita itu dikawini karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang beragama, semoga akan selamatlah hidupmu”.
Secara mafhum hadits ini berlaku pula untuk wanita yang memilih calon suami. Dan khusus tentang calon suami ditegaskan lagi oleh hadits At-Turmudzy riwayat Abu Hatim Al Mudzanny:
اذااتاكم من ترضون دينه وخلقه فانكحوا. رواه الترمذي
Artinya:“Bila datang kepadamu (hai wali), seorang laki-laki yang sesuai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah anakmu kepadanya”.

C.    Ukuran Kafa’ah
Kafa’ah menurut bahasa adalah kesamaan dan kemiripan. Adapun maksud yang sebenarnya adalah kesamaan antara dua belah pihak suami-istri dalam 5 hal :
1.         Agama
2.         Kedudukan. Yaitu nasab atau silsilah keturunan
3.         Kemerdekaan. Maka seorang budak laki-laki tidaklah kufu’ bagi wanita merdeka karena statusnya berkurang sebagai budak.
4.         Keterampilan. Orang yang memiliki keterampilan di bidang tenun kufu’ dengan gadis seorang yang memiliki profesi mulia, seperti pedagang.
5.         Memiliki harta sesuai dengan kewajiban untuk calon istrinya berupa maskawin dan nafkah. Maka, laki-laki yang sulit ekonomi tidak kufu’ untuk seorang gadis yang berada karena pada wanita itu dalam bahaya dengan kesulitan pada suaminya, karena bisa jadi nafkah yang harus ia terima mengalami kemacetan.
Jika salah satu dari pasangan suami-istri berbeda dari pasangannya dalam salah satu dari lima perkara ini, kafa’ah (keserasian, kecocokan,kesetaraan) telah hilang. Namun hal ini tidak memberi pengaruh kepada sahnya pernikahan karena kafa’ah bukan syarat dalam sahnya pernikahan. Seperti perintah Nabi SAW kepada Fatimah bintu Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Maka, Usamah menikahinya atas dasar perintah Nabi SAW.
Akan tetapi kafa’ah menjadi syarat lebih utama untuk sebaiknya dilakukan pernikahan. Jika seorang wanita dinikahkan kepada laki-laki yang tidak sekufu’ dengannya, siapa saja yang tidak ridha dengan itu baik pihak istri atau para walinya, berhak melakukan fasakh (pembataan nikah).
Jika kita melihat pada Al-Qur’an dan As-Sunnah ditinjau dari segi insaniyah, manusia itu sama seperti dalam Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13:
ياأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 )
            Manusia pada dasarnya sama derajatnya, hanyalah taqwalah yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya, bukan seperti kebangsawanan, kebangsaan dan kecantikan.


D.    Kriteria Kafa’ah Menurut Ulama’ Fiqih
            Menurut Ibnu Rusyd, di kalangan Madzhab Maliki tidak di perselisihka lagi bahwa apabila seorang gadis di kawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqoha’ juga berbeda pendapat tentang faktor nasab (keturunan), faktor kemerdekaan, kekayaan dan keselamatan dari cacat (aib).
Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab, seperti firman Allah dalam Qur’an Surat Al Hujurat ayat 13:
أَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49):13 )
            Para ulama’ berbeda persepsi dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam kafa’ah:
1.      Menurut ulama Hanafiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a.       Nasab
Yaitu keturunan atau kebangsaan. Orang Arab adalah kufu’ antara satu dengan lainnya. Begitu pula halnya dengan orang Quraisy sesama Quraisy lainnya. Karena itu orang yang bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab. Orang Arab tetapi bukan dari golongan Quraisy, tidak sekufu’ dengan/ bagi perempuan Quraisy lainnya.
b.      Islam
Yaitu silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam. Dengan Islam maka orang kufu’ dengan yang lain. Ini berlaku bagi orang-orang bukan Arab. Adapun di kalangan bangsa Arab tidak berlaku. Sebab mereka ini merasa sekufu’ dengan ketinggian nasab, dan mereka merasa tidak akan berharga dengan Islam. Adapun diluar bangsa Arab yaitu para bekas budak dan bangsa-bangsa lain, mereka merasa dirinya terangkat menjadi orang Islam. Karena itu jika perempuan muslimah yang ayah dan neneknya beragama Islam, tidak kufu’ dengan laki-laki Muslim yang atah dan neneknya tidak beragama Islam.
c.       Hirfah
Yaitu profesi dalam kehidupan. Seorang perempuan dan keluarga yang pekerjaannya terhormat, tidak kufu’ dengan laki-laki yang pekerjaannya kasar. Tetapi kalau pekerjaannya itu hampir bersamaan tingkatannya antara satu dengan yang lain maka tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, dapat diukur dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sebab adakalanya pekerjaan tidak terhormat di suatu tempat dengan  masa yang lain.
d.      Kemerdekaan dirinya
Jadi budak laki-laki tidak kufu’ dengan perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak kufu’ dengan perempuan yang merdeka dari asal. Laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak tidak kufu’ dengan perempuan yang neneknya tak pernah ada yang jadi budak. Sebab perempuan merdeka bila dikawin  dengan laki-laki budak dianggap tercela. Begitu pula bila dikawin oleh laki-laki yang salah seorang neneknya pernah menjadi budak.
e.       Diyanah,
Yaitu tingkat kualitas keberagamaan dalam Islam. Abu Yusuf berpendapat: seseorang laki-laki yag ayahnya sudah dalam kufu’dengan perempuan yang ayah dan neneknya Islam. Karena untuk mengenal laki-laki cukup hanya dikenal ayahnya saja.
f.       Kekayaan.
Golongan Syafi’i berkata bahwa kemampuan laki-laki fakir dalam membelanjai isterinya adalah di bawah ukuran laki-laki kaya.  Sebagian lain berpendapat bahwa kekayaan itu tidak dapat jadi ukuran kufu’ karena kekayaan itu sifatnya timbul tenggelam, dan bagi perempuan yang berbudi luhur tidaklah mementingkan kekayaan.
2.      Menurut ulama Malikiyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a.    Diyanah.
b.   Terbebas dari cacat fisik
Salah satu syarat kufu’ ialah terbebas dari cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai cacat jasmani yang menonjol, ia tidak kufu’ dengan perempuan yang sehat dan normal.

3.      Menurut ulama Syafi’iyah, yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a.    Nasab  
Tidaklah dinamakan sekufu’ pernikahan orang bangsawan Arab dan rakyat jelata atau sebaliknya.
b.   Diyanah
Tidaklah sekufu’ bila orang Islam menikah dengan orang yang bukan Islam.
c.    Kemerdekaan dirinya
Tidaklah sekufu’ bagi mereka yang merdeka yang menikah dengan budak.
d.             Hirfah

4.      Menurut ulama Hanabilah yang menjadi dasar kafa’ah adalah:
a.       Diyanah
b.      Hirfah
c.       Kekayaan
d.      Kemerdekaan diri
e.       Nasab

            Mayoritas Ulama sepakat menempatkan dien atau diyanah sebagai kriteria kafa’ah. Konsensus itu didasarkan pada Qur’an Surat As-Sajdah: 18,
أَفَمَن كَانَ مُؤۡمِنٗا كَمَن كَانَ فَاسِقٗاۚ لَّا يَسۡتَوُۥنَ ١٨
Artinya: “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama. (QS. As-Sajdah :18 )
Menurut Sufyan Al Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya lelaki.
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraiys tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula.
Perbedaan pendapat tersebut menurut Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari sabda Rasulullah, yaitu:
وعن أبى هريرة رضى الله عنه عن النبى صلى اللة عليه وسلم قال: تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأَرْبَعٍ: لمالها, ولحسبها, ولجمالها, ولدينها, فاظفر بذات الدين تربت يداك. متفق عليه مع بقية السبعة.
Artinya: “Wanita itu dikawinkan karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan kananmu”.
Segolongan fuqoha’ ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan. Segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan sama kedudukannya dengan factor agama, demikian pula faktor kekayaan, dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa’ah, kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa’ah. Dan semua fuqoha’ yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah.
Demikian juga dengan faktor kemerdekaan juga tidak diperselisihkan lagi di kalangan madzhab Maliki bahwa ia termasuk dalam lingkup pengertian Kafa’ah. Hal ini didasarkan adanya hadits shahih yang memberikan hak khiyar (memilih) kepada hamba sahaya perempuan yang telah dimerdekakan (yakni hak memilih untuk meneruskan atau membatalkan perkawinan dengan suaminya yang masih berstatus hamba sahaya).
Selanjutnya para fuqoha’ juga bersepakat bahwa kafa’ah hanya berlaku bagi pihak pria untuk wanita, tidak sebaliknya. Jadi apabila pihak pria memilih seorang wanita yang tidak sekufu dengannya tidak menjadi masalah dalam kafa’ah. Seperti dalam Al-Qur’an surat Al Ahzab ayat 36:
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا ٣٦
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”

E.     Hikmah Kafa’ah dalam Kehidupan Rumah Tangga
Berikut hikmah kafaah dalam pernikahan yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan.
Islam telah memberikan hak thalaq kepada pihak laki-laki secara mutlak. Namun oleh sebagian laki-laki yang kurang bertanggungjawab, hak thalaq yang dimilikinya dieksploitir dan disalahgunakan sedemikian rupa untuk berbuat seenaknya terhadap perempuan. Sebagai solusi untuk mengantisipasi hal tersebut, jauh sebelum proses pernikahan berjalan, Islam telah memberikan hak kafa’ah terhadap perempuan. Hal ini dimaksudkan agar pihak perempuan bisa berusaha seselektif mungkin dalam memilih calon suaminya  Target paling minimal adalah, perempuan bisa memilih calon suami yang benar-benar paham akan konsep thalaq, dan bertanggung jawab atas kepemilikan hak thalaq yang ada di tangannya.
2.      Dalam Islam, suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya.
Konsekuensi dari relasi imam-makmum ini sangat menuntut kesadaran keta’atan dan kepatuhan dari pihak perempuan terhadap suaminya. Hal ini hanya akan berjalan normal dan wajar apabila sang suami berada ‘satu level di atas’ istrinya, atau sekurang-kurangnya sejajar.
3.      Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.
Seorang perempuan ‘biasa’, akan terangkat derajatnya ketika dinikahi oleh seorang laki-laki yang memiliki status sosial yang tinggi, pendidikan yang mapan, dan derajat keagamaan yang lebih. Sebaliknya, citra negatif suami akan menjadi kredit kurang bagi nama, status sosial, dan kehidupan keagamaan seorang istri.

3.      Kesimpulan
Kafa’ah berasal dari bahasa Arab dari kata (كفىء  ) , berarti sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “sama” atau setara.
Kafa’ah merupakan wujud keadilan dan konsep kesetaraan yang ditawarkan Islam dalam pernikahan, Dalam Islam suami memiliki fungsi sebagai imam dalam rumah tangga dan perempuan sebagai makmumnya, Naik atau turunnya derajat seorang istri, sangat ditentukan oleh derajat suaminya.
4.      Daftar pustaka
Ayyub, Syaikh Hasan. Fiqh al-Usroh al-Muslimah, Pustaka Al-Kautsar.
Al-Asqalani, Terjemahan Bulughul Maram, Jakarta: Akbar, 2007
Ghazali, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006


Komentar

Postingan Populer