Mafahum Mantuq

BAB I
PENDAHULUAN

Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Quran, sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri, ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat yang memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya tersirat didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari mantuq dan mafhum serta kehujahannya.
Dalam makalah ini juga kami akan membahas tentang pengertian dzohir dan muawwal  dan dalil-dalilnya yang merupakan bab atau pembahasan yang terdapat di dalam ilmu Ushul Fiqih. Yaitu akan membahas sebagaimana tertera dalam rumusan masalah.


BAB II PEMBAHASAN
MANTUQ DAN MAFHUM
A.    Mantuq dan Pembagiannya
Mantuq secara bahasa  adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir.
Kalangan ulama Syafi’iyah, dilâlah  lafal nash dibagi kepada dua macam,  yaitu  dilâlat  al-mantûq  (دلالـة الـمـنطوقdan  dilâlat  al-mafhûm دلالـة الـمـفـهـوم)). Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :
دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.

1.      Mantûq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.
Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, zahir, dan mu’awwal:
2.      Mantûq Ghairu Sarih 
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi 3 macam:                                                                                                      a.       Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى}
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.
b.      Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”
c.       Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.


Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.


B.    Mafhum dan Pembagiannya
 Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
       Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1.      Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:
a.     Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b.      Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang (haram).
2.      Mafhum mukhalafah
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
     Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a.   Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.
Mafhum sifat ada 3 macam:
1)      Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
2)      Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
3)      ‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
b.     Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c.      Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
d.     Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.
e.     Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
f.      Mafhum syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.

 

 

BAB III

 DZOHIR DAN MUAWWAL

 

1.       DEVINISI  AD-DZOHIR
Secara etimology adalah jelas, sedangkan secara terminology, menurut Ibnu Al-Hajib adalah suatu lafadz yang menunjukkan dilalah dzonniyah, adakalanya diunggulkan dengan ma’na lughot, seperti lafadz الاسد ma’na yang diungulkan adalah hewan yang bertaring, sedangkan ma’na yang dikalahkan adalah laki-laki pemberani. Adakalanya diunggulkan dengan ma’na Syar’i, seperti sholat yaitu suatu pekerjaan yang terdapat rukuk dan sujud, mengalahkan mana do’a. Ada juga diunggulkan dengan ma’na ‘Urf, seperti lafadz الغائط yaitu tempat buang hajat, yang sebenarnya lafadz itu adalah isim fail yang berma’na pelaku pekerjaan buang hajat, namun ma’na yang diunggulkan adalah tempat buang hajat yang diadopsi dari ‘Urf.
Ada juga yang mengartikan Dzohir adalah sebuah lafadz yang memuat dua ma’na yang salah satunya lebih jelas dari pada ma’na yang lain. Seperti contoh perkataan : “Hari ini Aku melihat asad” kata asad dalam ungkapan itu berma’na dzohir hewan yang bertaring Namun ada juga yang mengatakan bahwa Dzohir adalah lafadz yang menunjukkan ma’na yang jelas.
Imam As-Syasyi mengartikan Dzohir adalah sebuah kalam yang maksud kalam itu bisa dimengerti oleh orang yang mendengarkan (As-sami’) dengan hanya mendengarkan saja tanpa berangan-angan. Sedangkan Wahbah Zuhaili mengartikan dzohir adalah dalil yang punya arti sendiri, akan tetapi orientasinya bukanlah apa yang tersurat dari dalil itu, karena bisa di ta’wil.  Sedangkan menurut Al-Sarakhsi:
ما يعرف المراد منه السامع بنفس من غير تامل
 “Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengar itu sendiri tanpa harus difikirkan lebih dahulu.”
Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami zhahir itu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil langsung dari rumusan lafadz itu sendiri. Akan tetapi lafadz itu tetap mempunyai kemungkinan lain.
2.       HUKUM AMAL DENGAN LAFADZ DZOHIR
Hukum dalil yang Dzohir adalah wajib mengamalkan petunjuknya secara yakin dan pasti, baik dalam dalil yang umum atau pun khusus. Imam Abi Bakar Muhammad ibnu Ahmad as-Sarakhosi dalam membahas hukum amal muawwal mengatakan : “hukum amal terhadap dalil muawwal adalah wajib dengan mempertimbangkan wajib amal dengan dalil yang dzohir”.
3.       DEVINISIS DALIL YANG DI TA’WIL atau WUAWWAL
Setelah kita mengetahui devinisi dzohir, maka akan dijelaskan juga devinisi ta’wil. Baik secara etimologi ataupun termenologinya. Secara etimologi, kata ta'wil berasal dari kata آلَ  يَؤُوْلُ  أَوْلٌ (الأَوْلُ artinya adalah الرجوع (kembali), dan العاقبة (akibat atau pahala), seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59 : ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا artinya: “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” dan hadits من صام الدهر فلا صام ولا آل  Artinya: “Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada balasannya.”
Sedangkan Ta’wil secara termenologi para ulama terdapat perbedaan dalam mendevinisikannya. Antara lain: menurut Ibnu Manzhur, ada dua pengertian ta'wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab;  Pertama, ta'wil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, menyatakan "Ta'wil secara istilah bermakna mengalihkan lafadz dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".
 Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah menyatakan bahwa, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".
Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penta'wil". Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan, "Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafadz dzahir".
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta'wil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Ayat Al-Qur'an; ta'wil dari ayat ini adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta'wil ayat ini. Kata ta'wil yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir. Sedangkan ta'wil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.
Dari beberapa devinisi diatas dapat kita simpulkan bahwa ta'wil dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsir. Kemudian pada masa khalaf mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.
4.       KLASIFIKASI PENGGUNAAN KATA TA’WIL
Dari penggunaannya, kata ta'wil dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam pengertian:
  1. Ta'wil li al-qaul (ta'wil perkataan)
Berarti makna sebuah perkataan dan hakekat yang dimaksudkan. Dalam bahasa Arab, perkataan terbagi menjadi dua; yaitu insya' dan khabar, bagian utama dari insya' adalah amr (perintah). Oleh karenanya, ta'wil dalam hal ini memiliki dua pengertian;
    - Ta'wil Amr , yaitu dengan mengerjakan apa yang diperintahkan, contohnya hadits riwayat Aisyah Radhiyallah 'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca,   سبحنك اللهم ربنا و بحمدك اللهم اغفر لي (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku).
    - Ta'wil Ikhbar, yaitu terjadinya suatu peristiwa sebagaimana yang dikabarkan, seperti firman Allah QS. Al-A'raf : 53.
 هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ يَوْمَ يَأْتِي تَأْوِيلُهُ يَقُولُ الَّذِينَ نَسُوهُ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ فَهَلْ لَنَا مِنْ شُفَعَاءَ فَيَشْفَعُوا لَنَا أَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ
Artinya: “Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur'an itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu:  "Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami membawa yang haq, maka adakah bagi kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?”. Dalam ayat ini, Allah mengabarkan akan datangnya hari kiamat, sedangkan manusia menunggu ta'wil (terjadinya) yang dikabarkan Al-Qur'an.
  1. Ta'wil li al-fi'l (ta'wil perbuatan)
Seperti apa yang dikatakan oleh sahabat Nabi Musa 'Alaihissalam setelah melubangi perahu tanpa seizin pemiliknya, membunuh seorang anak, dan menegakkan kembali bangunan roboh, dalam QS. Al-Kahfi: 82.
وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
Artinya: “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan (ta'wil) perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.”

  1.  Ta'wil li ar-ru'ya (ta'wil mimpi)
Ta'wil li ar-ru'ya atau ta'wil al-ahadits (ta'wil mimpi), seperti perkatan Nabi Ya'qub kepada putranya Nabi Yusuf ' As. dalam QS. Yusuf : 6.
وَكَذَلِكَ يَجْتَبِيكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ
Artinya: “Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta'bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu.”
Dan perkataan Nabi Yusuf pada Ayahandanya dalam al-Qur’an surat Yusuf: 100. 
يَا أَبَتِ هَذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا
Artinya: “Wahai ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu, sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.”
5.       PERBEDAAN TA’WIL DAN TAFSIR
Dari difinisi ta'wil di atas, dapat diambil persamaan dan perbedaan serta keterkaitan antara keduanya. Tafsir dalam terminologi adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, memahami maknanya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya berdasarkan pada ilmu bahasa, nahwu, sharaf, ilmu bayan (balaghah), ushul fiqh, ilmu qira'at, asbab nuzul, dan nasikh dan mansukh.
Al-Bajili mengatakan bahwa tafsir berkaitan dengan riwayah (riwayat) sedangkan ta'wil berkaitan dengan dirayah (ilmu pengetahuan). Hal serupa dinyatakan oleh Abu Nasr Al-Qushairy, "Tafsir terbatas hanya pada mengikuti dan mendengar (riwayat), sedangkan istimbath (kesimpulan) merupakan bagian dari ta'wil. Ini juga merupakan pendapat Abu Manshur Al-Maturidi, sehingga ia menyimpulkan bahwa tafsir berlaku untuk para sahabat sedangkan ta'wil untuk para fuqaha' (ulama). Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu dan mendengar langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam serta mereka tidak akan berbicara tanpa ilmu.
Sangat beragam pendapat ulama’ berkaitan dengan perbedaan antara Ta’wil dan Tafsir, namun dari beeberapa pendapat diatas bisa kita simpulkan bahwa ringkasnya, ta'wil adalah pendalaman dari tafsir dalam mengungkap sebuah makna. Jika tafsir merupakan sebuah usaha untuk mengungkapkan suatu makna yang tersembunyi dari sebuah ayat, maka ta'wil lebih dari itu yaitu memilih makna sebuah lafadz yang ambigu yang memiliki banyak makna. Oleh karena itu, tafsir menggunakan riwayat dalam mengungkap makna sebuah ayat, sedangkan ta'wil menggunakan beberapa disiplin ilmu yang dimiliki oleh seorang mujtahid. Selain itu, tafsir biasanya hanya membahas lafadz-lafadz sedangkan ta'wil membahas makna-makna.
6.       DALIL-DALIL TA’WIL
Telah dijelaskan di atas bahwa ta'wil adalah mengalihkan lafadz dari makna zhahirnya (makna rajih) kepada makna esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil (qarinah). Sehingga Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan ta'wil. Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta'wil yang shahih, sedangkan tanpa dalil adalah ta'wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu.
Menurut para ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna esoteris (makna marjuh) dari pada makna dzahir.
1. Nash Al-Qur'an dan As-Sunnah; seperti firman Allah tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah) dalam QS. Al-Maidah: 3) [19]. Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadits bahwasanya Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabat tentang kambing milik Maimunah ra, yang mati yang akan dibuang, "Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?", para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab, "Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya". Hadits tersebut adalah :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلَاةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ فَمَاتَتْ فَمَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ فَقَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: seorang budak perempuan milik Maimunah mendapatkan seekor kambing lalu mati, (hendak dibuang) kemudian Rasulullah Shallallah 'alaihi wasallam lewat lalu bersabda, "Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?", para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab, "Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya". (HR. Muslim dalam kitab shahihnya; kitab haidh, bab sucinya kulit bangkai dengan disamak, no.542).  Dalil dari hadits ini mengalihkan sebuah lafadz dari makna zhahirnya.
2. Ijma'. seperti firman Allah dalam QS.Al-Jumu'ah: 9.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Secara dzahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki, perempuan, orang yang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma' mengecualikan anak-anak yang belum baligh.
3. Qiyas. diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus dengan qiyas jaliy, seperti qiyas budak laki-laki pada budak perempuan dalam hal pembebasannya, sedangkan qiyas fariq tidak berlaku.
4. Hikmah Tasyri' dan kaidah-kaidah dasar syari'at; seperti kewajiban zakat dari empat puluh ekor kambing dengan satu ekor (فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةٌ). [20] Menurut ulama Syafi'iyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan dzahir lafadz hadits dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena lafadznya jelas, khusus, dan qath'i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena hikmah dari mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syari'at. [21]
    7,       BENTUK-BENTUK  DALIL YANG  DI-TA’WIL
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith.
Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta'wil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.
1.       Mengalihkan lafadz dari maknanya yang umum kepada yang khusus, dalam bahasa ushul disebut takhshish al-umum (تخصيص العموم). Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 228.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوء....ٍ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…..”. Ayat ini berlaku umum, baik istri yang sudah digauli maupun belum, haid, monopouse, atau dalam kondisi hamil. Kemudian ayat ini ditakhshish dengan ayat yang lain dalam surat Al-Ahzab: 49.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum digauli) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.”  Ayat ini menerangkan bahwa wanita yang belum digauli tidak memiliki iddah (masa tunggu).
2.       Mengalihkan lafadz dari maknanya yang mutlak (muthlaq) kepada yang terbatas (muqayyad), dalam bahasa ushul disebut taqyid al-muthlaq (تقييد المطلق). Seperti firman Allah tentang haramnya darah dalam QS. Al-Maidah:3. menggunakan lafazh mutlak (muthlaq) kemudian dibatasi (taqyid) dengan kata "mengalir" (masfuhan) dalam ayat yang lain yaitu QS.Al-An'am: 145. sehingga yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
3.       Mengalihkan lafadz dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi. Seperti pada firman Allah dalam surat An-Nisa': 2. yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim, yaitu anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh. Ayat ini bertentangan dengan ayat berikutnya QS.An-Nisa': 6.  yang menerangkan untuk menyerahkan harta-harta milik anak yatim pada saat mereka telah baligh dan dewasa.
Dengan ayat kedua tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan lafadz yatim pada ayat yang pertama bukan makna hakiki (anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum mereka baligh) tapi makna majazi yaitu ketika mereka telah baligh dan dewasa.
4.       Mengalihkan lafadz dari maknanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah. Seperti perintah untuk mencatat hutang piutang dalam surat Al-Baqarah: 282. yang bermakna wajib, kemudian ada dalil (qarinah) dalam ayat lain yang yang mengalihkannya menjadi sunnah yaitu pada ayat selanjutnya surat Al-Baqarah: 283. 



8.       CONTOH-CONTOH LAFADZ YANG DZOHIR
1.      وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Dan Allah telah menghlalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Ayat ini secara dzohir (dengan hanya mendengar/membaca) menjelaskan legalnya jual beli dan haramnya riba. Sedangkan bila melihat bahwa dalam ayat tersebut antara jual beli dan riba dibedakan , maka dinamakan Nash.
2.      وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Melihat runtutan kalam dan dengan didengar saja sudah dapat dipahami hukum nikah adalah boleh. Dan secara nash adalah menjelaskan jumlah istri yang legal menurut Syara’.
3.      لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Ayat ini secara nash adalah menghukumi bagi seorang suami yang ketika dalam akad nikah tidak menyebutkan mahar, maka tetap wajib membayar mahar kepada istrinya. Dan secara dzohir merupakan tirani bagi suami untuk bercerai.
4.      يأيها الناس اتقوا ربكم
Artinya: “Hai manusia bertaqwalah kalian semua kepada Tuhan kalian.”
BAB IV PENUTUP
KESIMPULAN
1.   Dari berbagai pembahasan yang telah kami paparkan diatas dapat disimpulkan bahwasannya: Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan  menurut istilah yaitu pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Manthuq sendiri terbagi menjadi nash, zahir dan mu’awwal. Sedangkan Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
2.   Mantuq dan mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai hujjah, namun untuk mafhum mukhalafah terdapat pengecualian. Yaitu mafhum laqab yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
 1(.  Dalil/Lafadz Dzohir kejelasan yang ditunjukkan memang dari  dalil itu sendiri,    sedangkan Nash meski sama-sama jelas yang ditunjukkan, akan tetapi kalau nash tidak muncul dari lafadz itu sendiri, melainkan melihat qorinah (indikasi) dari runtutan kalam.
       2(.    Lafadz yang dzohir bisa dita’wil dengan sebuah dalil
      3(.   Ta’wil lebih mendalam atau lebih luas dibandingkan kata tafsir, karena tafsir biasanya adalah mengartikan sebuah lafadz dari sisi bahasa. Sedangkan ta’wil adalah bisa dengan bahasa atau dengan kontekstual sesuai dengan dalil yang dijadikan mena’wil.
           4(.    Bentuk-bentuk Ta’wil adalah macam-macam pena’wilan yang terdapat didalam al-Qur’an.


DAFTAR PUSTAKA
Abi Yahya Zakariyah Syaikhul Islam Al-Anshori, Ghoyatul Wushul Syarkhu Lubbul ‘Ushul, (Al-Haromain), 2000.
Ibnu Abdullah Ibnu Yusuf Abdul Malik Al-Juwaini, Nadzom Waroqot wa Syarkhihi fi Hamisyi An-Nufahat, (Al-Haromain), 2006.
Ibnu Ahmad ibn sahal Abi Bakar Muhammad as-Sarakhosi, Ushulu as-Sarkhosi, (Maktabah as-Syamilah).
Ibnu Muhammad Ibnu Ishaq Ahmad Asy-Syasyi Abu ‘Aly, Ushulu Asy-Syasyi, Maktabah Asy-Syamilah.
Al-Jawzi Ibnu, Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah, (Kairo: Maktabah Matbuli), 1995.
Bin Abdullah Muhammad Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an, (Kairo: Dar Al-Hadits), 2006.
Bin Muhammad Ali Al-Jurjani, At-Ta'rifat, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah.tt).
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan keempat. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010.
Karim, Asyafe’i. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan kedua. Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Tim Penyusun. Studi Al-Qur’an. Cetakan pertama. Surabaya : IAIN SA Press, 2011.
Efendi, Satria. Ushul Fiqih. Jakarta : Penerbit Kencana, 2009.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Sya’ban, al-Din. Ushul al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965
Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986

Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an. Terj. Jakarta: Halim Jaya, 2009.

Komentar

Postingan Populer