Ayat Ilmu Pengetahuan
a. Memanfaatkan ilmu
pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan kandungan ayat-ayat
Al-Qur'an adalah salah satu contoh dari usaha pengejawantahan metode tafsir
saintis[1]
Dalam beberapa contoh
yang tidak sedikit dapat kita jumpai seorang mufassir atau penulis memanfaatkan
penemuan-penemuan ilmiah baru untuk memperkuat ayat-ayat Al-Qur'an yang
membahas masalah tersebut tanpa ia ingin menuntaskan sebuah permasalahan dengan
menyebutkan penemuan-penemuan ilmiah itu.
Kita dapat menemukan
contoh-contoh untuk hal ini dalam beberapa permasalahan berikut ini:
• Peranan air dalam
kehidupan; "Dan Kami menjadikan dari air segala
sesuatu yang hidup." (QS. al-Anbiya' [21]:30)
• Realita
berpasangan-pasangan di alam makhluk hidup; "Dan dari setiap sesuatu Kami jadikan berpasangan supaya kamu
ingat." (QS. adz-Dzariyat [51]:49)
• Tahapan perkembangan
janin manusia; "Dan Kami telah menciptakan manusia
dari tanah liat. Kemudian Kami menjadikannya sebagai air sperma di dalam tempat
perlindungan yang kokoh [rahim]. Lalu Kami menjadikan air sperma itu sebagai
gumpalan darah, kemudian Kami jadikan gumpalan darah itu sebagai sepotong
daging, lalu Kami jadikan sepotong daging itu berbentuk tulang-belulang, dan
lalu Kami membungkus tulang-belulang itu dengan daging, serta setelah itu, Kami
menciptakannya sebagai sebuah makhluk baru ...." (QS. al-Mukminun
[23]:12-14)
• Peran angin dalam
mewujudkan awan dan hujan; "Dan Allah adalah
Dzat yang telah mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan, dan
kemudian Kami menggiring awan tersebut ke arah negeri yang mati." (QS. Fathir
[35]:9) Kita juga dapat melihat hal ini di dalam surah an-Nur, ayat 43, surah
ar-Rum, ayat 48, dan surah al-A'raf, ayat 57.
• Hidayah intern setiak
makhluk; "Ia berkata, 'Tuhan kami adalah Dzat
yang telah menciptakan segala sesuatu yang sesuai dengan tuntutan ciptaannya,
dan kemudian Dia memberinya petunjuk." (QS. Thaha [20]:50)
• Peran gunung dalam
menjaga kestabilan bumi; "Dan Kami telah
menciptakan di atas bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu tidak
menggoncangkan mereka." (QS. al-Anbiya' [21]:31)
Dan okyak-obyek
pembahasan lainnya yang pada masa kini banyak ditemukan lantaran
penemuan-penemuan ilmiah tersebut.[2]
b. Menyingkap
rahasia-rahasia pemaparan Al-Qur'an di dalam buku-buku tafsir masa lalu
membuktikan bahwa para penulis tafsir itu hanya mencari kemukjizatan Al-Qur'an
di dalam kefasihan kata ayat-ayat Al-Qur'an. Sementara itu, pada abad-abad
terakhir ini, di bawah pengaruh penemuan-penemuan ilmiah telah terbuktikan
bahwa penjelasan Al-Qur'an memiliki presisi, elegansi, dan poin-poin yang
sangat jeli.
Sebagai contoh atas hal
ini, kita dapat memperhatikan dan merenungkan realita-realita berikut ini:
• Dalam menyifati bulan,
Al-Qur'an menggunakan kosa kata "nur" (cahaya) dan sementara itu,
ketika menyifati matahari, ia menggunakan kosa kata "sirâj"
(pelita). "Dan Dia telah menjadikan bulan di
dalamnya sebagi cahaya dan matahari sebagai pelita." (QS. an-Nur
[24]:16) Atau ia menegaskan bahwa menemukan arah di malam hari dapat dicapai
dengan melihat cahaya bintang-gumintang. "Dan dengan
bintang-gumintang mereka mendapatkan petunjuk." (QS. an-Nahl
[16]:16) Padahal seluruh planet juga memiliki cahaya. Ungkapan-ungkapan yang
berbeda ini lantaran Al-Qur'an ingin menunjukkan bahwa cahaya matahari dan
bintang berbeda dengan cahaya bulan. Cahaya bintang—seperti yang telah
dibuktikan oleh sains modern—memancar dari diri bintang itu sendiri. Sementara
itu, cahaya bulan hanyalah pantulan dari cahaya matahari.
Pengungkapan-pengungkapan yang berbeda tersebut timbul dari sebuah realita yang
nyata.[3]
• Tentang gerakan angin,
Al-Qur'an menggunakan ungkapan "tashrîf" yang berarti memutar dan
membolak-balikkan. "... dan di dalam tiupan angin." (QS. al-Jatsiyah
[45]:5) Ini adalah sebuah ungkapan yang sangat jeli tentang gerakan dan tiupan
angin, sebagaimana hal itu telah dibuktikan oleh ilmu ramalan cuaca.[4]
• Menyamakan
berimanannya orang-orang kafir dengan mendaki ke langit. Allah berfirman, "Dan barang siapa yang dikehendaki oleh Allah kesesatannya, niscaya
Dia menjadikan dadanya sesak lagi sempit seolah-olah ia sedang mendaki ke
langit." (QS. al-An'am [6]:125) Pada masa sebelumnya, ayat ini ditafsirkan
berdasarkan satu perasaan psikologis dalam membayangkan bagaimana beratnya
mendaki ke langit. Akan tetapi, pada masa kini, berdasarkan penemuan-penemuan
ilmiah modern, terbukti bahwa karena cuaca di luar bumi sangat tipis dan
berdiam diri di tempat tersebut akan membuat jalan pernapasan tersumbat, maka
Al-Qur'an menggunakan persamaan demikian.[5]
• Pembaharuan kulit demi
kebersinambungan siksa bagi orang-orang kafir. Allah berfirman, "Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit
yang lain supaya mereka merasakan azab." (QS. an-Nisa' [4]:46) Realita ini
dikarenakan saraf perasa rasa sakit terdapat di bagian kulit dan bagian-bagian
di bawah otot memiliki saraf perasa sakit yang sangat lemah. Oleh karena itu,
pergantian kulit baru dapat melanggengkan azab Ilahi.[6]
• Garis-garis tipis yang
terdapat di ujung jari-jemari. Allah berfirman, "Bukan demikian, sebenarnya kami kuasa menyusun [kembali]
jari-jemarinya dengan sempurna." (QS. al-Qiyamah [75]:4) Hal
dimaksudkan untuk unjuk kekuataan dan kekuasaan yang filsafatnya—sebagamimana
sudah terbuktikan di dalam dunia ilmu pengetahuan modern—adalah kejelian dan
ketelitian yang tersembunyi di angota tubuh ini.[7] Penyebutan
anggota tubuh pendengaran, penglihatan, dan kalbu secara berurutan juga untuk
menunjukkan urgensi khusus masing-masing.[8]
• Bersumpah demi
orbit-prbit bintang-gumintang juga demi menunjukkan urgensinya dalam menjaga
kestabilan dunia. Allah berfirman, "Maka Aku bersumpah
dengan tempat beredarnya bintang-bintang." (QS. al-Waqi'ah
[56]:74)[9]
Dan masih banyak lagi
contoh-contoh lain yang penjelasan Al-Qur'an menyingkap rahasia alam tabiat
yang paling jeli.
c. Memanfaatkan
penemuan-penemuan ilmiah baru untuk menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur'an
Untuk menjelaskan hal
ini, kita dapat menengok contoh-contoh berikut ini. Kami akan menyebutkan
contoh-contoh tersebut tanpa kami menganalisa kebenaran atau kesalahannya.
• Allah berfirman, "Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang yang dapat kamu
lihat." (QS. ar-Ra'd [13]:2)
Menurut pendapat para
mufassir kuno, langit berdiri tanpa penyangga. Kalaupun frase "yang dapat
kamu lihat" dianggap sebagai sifat bagi "tiang", mereka
berpendapat bahwa tiang-tiang yang tak terlihat itu adalah kekuatan Allah.[10]
Akan tetapi, setelah
terungkapnya gravitasi bumi, sebagai mufassirin dan para penulis menafsiran
frase "tanpa tiang yang dapat kamu lihat" dengan kekuatan gravitasi
yang ada antara bumi dan matahari. Mereka meyakini bahwa maksud Allah dari
frase tersebut adalah kekuatan gravitasi tidak terlihat yang terdapat di dunia
ini.[11]
• Allah berfirman, "Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan [Kami] dan sesungguhnya
Kami benar-benar meluaskannya." (QS. adz-Dzariyat [51]:47)
Pada masa lalu,
kata mûsi'ûn (meluaskan) diartikan dengan
keluasan rezeki atau kekuatan. Ath-Thabarsi menulis, "Yaitu, Kami mampu
untuk menciptakan sesuatu yang lebih agung darinya. Tafsir ini dinukil dari Ibn
Abbas. Dan juga ada pendapat yang mengatakan bahwa artinya adalah Kami
meluaskan rezeki atas para makhluk dengan menurunkan hujan ...."[12]
Akan tetapi, setelah
munculnya teori meluasnya ruang angkasa dan percobaan-percobaan yang
membuktikan bahwa realita ini dapat terjadi dengan perubahan yang muncul di
dalam spektrum cahaya, teori di atas dapat didukung. Pada masa kini, sebagian
mufassirin, kata mûsi'ûnditafsirkan dengan perluasan ruang
angkasa.[13]
• Allah berfirman, "Maka apakah mereka tidak melihat bahwasanya Kami mendatangi negeri
[orang kafir], lalu Kami kurangi luasnya dari segala penjurunya." (QS. al-Anbiya'
[21]:44; ar-Ra'd [13]:41)
Penafsiran mayoritas
para mufassir dari ayat ini selama ini adalah, bahwa maksud dari ayat tersebut
adalah pembumihangusan negeri-nageri dan kemusnahan umat. Menurut sebagian
penafsiran, ayat ini ditafsirkan dengan kematian para ulama dan ilmuwan.[14]
Akan tetapi, sebagian
penulis menafsirkan ayat tersebut fenomena terpisahnya bulan dari bumi.
Sepertinya, maksud dari kata 'athrâf' adalah bumi dan dari kata 'naqasha'
adalah memisahkan.
Berkenaan dengan hal
ini, al-Kawakibi menulis, "Para pemikir telah mengadakan penelitian bahwa
bulan terpisah dari bumi, dan dalam hal ini, Al-Qur'an berfirman, 'Kami mendatangi negeri [orang kafir], lalu Kami kurangi luasnya dari segala
penjurunya.'"[15]
Ayat-ayat yang telah
ditafsirkan dan dijelaskan atas dasar penemuan-penemuan imiah baru seperti
sangatlah banyak. Kami akan menyebutkan sebagiannya di bawah ini secara
ringkas:
• Allah berfirman,"Kami mengirimkan angin-angin untuk pembuahan." (QS. al-Hijr
[15]:22). Ayat ini ditafsirkan dengan pertemuan aliran listrik positif dan
negatif di awan.[16]
• Allah berfirman, "Dan setelah itu, Ia memperluas bumi." (QS. an-Niazi'at
[79]:30) Ayat ini ditafsirkan dengan kebermunculan benua-benua di dunia ini.[17]
• Allah berfirman, "Kamu tidak akan dapat menyusup [ke batas-batas langit] kecuali dengan
kekuatan [yang luar biasa]." (QS. ar-Rahman [55]:33) Ayat ini
ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.[18]
• Allah berfirman, "Dan bumi mengeluarkan segala bebannya." (QS. az-Zilzal
[99]:2) Ayat ditafsirkan dengan keluarnya gas dan bensin.[19]
Golongan Intemperatif (Mufrith) dan Golongan Moderatif (Mu'tadil)
Dalam tendensi
penafsiran saintis, kita dapat membagi tendensi ini ke dalam dua kategori umum:
(1) golongan intemperatif dan (2) golongan moderatif.
Golongan
intemperatif—biasanya—memiliki dua kriteria umum:
a. Mengklaim seluruh
penemuan dan teori saintis sebagai sebuah asumsi yang pasti dan menyakinkan.
b. Menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur'an berdasarkan penemuan-penemuan saintis tersebut secara pasti dan
seratus persen.
Adapun dalam pandangan
golongan moderatif:
a. Penemuan-penemuan
ilmiah bukanlah sebuah fenomena yang pasti dan tidak dapat berubah. Dalam
pandangan moderatif ini, diusahakan agar hakikat ilmiah dibedakan dari teori
dan pandangan ilmiah.
b. Dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur'an secara ilmiah, golongan ini selalu mengikat dirinya dengan
sebuah kemungkinan dan tindakan hati-hati.
Di antara contoh
penafsiran ilmiah secara moderatif, kita dapat memperhatikan tafsir ayat
Al-Qur'an yang berbunyi, "Sesungguhnya Kami
benar-benar meluaskannya." (QS. adz-Dzariyat [51]:47)
Dalam rangka menafsirkan
ayat tersebut, Allamah Thabathabai menulis, "Dan ada kemungkinan bahwa
kata 'mûsi'ûn' diambil dari ungkapan 'awsa'a an-nafaqah', yaitu memperbanyak
nafkah. Atas dasar ini, maksud dari ayat tersebut adalah perluasan dan
penambahan ciptaan langit, sebagaimana hal itu dicenderungi oleh
pembahasan-pembahasan saintis pada masa kini."[20] Penafsiran
semacam ini juga diyakini oleh penulisTafsir Nemûneh, seperti telah kami
jelaskan di atas.
Contoh lain dapat kita
lihat dalam penafsiran ayat, "Engkau melihat
bahwa gunung-gunung itu diam [tak bergerak], sedangkan ia berjalan sebagaimana
awan berjalan." (QS. an-Naml [27]:88)
Sebagian ahli tafsir
menafsirkan ayat tersebut dengan bergeraknya gunung-gunung pada hari kiamat.[21] Akan tetapi, sebagian yang lain mengklaim bahwa
ayat ini adalah salah satu mukjizat ilmiah Al-Qur'an. Mereka meyakini bahwa
ayat ini membukikan bahwa bumi bergerak.[22]
Contoh lain, dapat
dijumpai dalam ayat, "Dan matahari bergerak [menuju] ke
tempat berdiamnya." (QS. Yasin [36]:38) Pada masa-masa sebelumnya,
para mufassir menafsirkan ayat ini dengan gerakan lahiriah matahari yang
berjalan sehari-hari atau per musim.[23] Akan
tetapi, pada masa kini, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah dan sains baru,
para ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan gerakan matahari menuju suatu
titik tertentu yang di situ terdapat planet Vega.[24]
Semua penafsiran itu
masih disertai dengan kehati-hatian dan bersifat moderatif. Akan tetapi, di
beberapa kalangan mufassirin kita melihat keteledoran dan keberlebihan dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan rangka mendukung metode panafsiran
ilmiah.
Beberapa contoh berikut
ini adalah bukti nyata atas hal ini.
a. Kata 'thair' dalam
surah al-Fil ditafsirkan dengan nyamuk atau lalat yang membawa virus-virus
penyakit.[25]
b. Kata 'dâbbah' dalam
ayat, "Ketika perintah azab untuk mereka
telah sampai, Kami mengeluarkan untuk mereka seekor binatang ternak dari
bumi." (QS. an-Naml [27]:82) ditafsirkan dengan bulan-bulan buatan.[26]
Contoh yang sangat jelas
untuk penfasiran saintis intemperatif ini dapat kita temukan di dalam buku
tafsir Ahmad Khan yang berjudul Tafsir Al-Qur'an wa
al-Hudâ wa al-Furqân. Segala usaha yang telah dilakukannya untuk menjustifikasi mukjizat para
nabi atau eksistensi in-material lainnya, seperti malakiat dan jin, secara
material tidak lain adalah sebuah kekalahan yang telah dialaminya dalam
menghadapi teori-teori saintis.[30]
Meluasnya Tendensi
Tafsir Saintis pada Abad Keempat Belas
Kebersamaan penulisan
tafsir pada abad keempat belas dengan kemajuan-kemajuan ilmiah umat manusia
dalam bidang ilmu alam dan humanistik menyebabkan—secara alamiah—jejak-jejak
langkah ilmu-ilmu pengetahuan tersebut berpengaruh dalam buku-buku tafsir
tersebut.
Di antara ilmu-ilmu
pengetahuan tersebut, ilmu astronomi, fisika, kimia, medis, giologi,
tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya lebih mendapatkan perhatian dan sering
digunakan dijadikan bukti. Setelah itu, ilmu-ilmu humaniora, seperti sosiologi,
psikologi, dan lain sebagainya menyusup ke dalam buku-buku tafsir tersebut.
[2]Abdullah Syahhatah,
Tafsir al-Ayat al-Kawniyah, hal. 16; Karim, Sayid Ghunaim, al-Isyârât
al-'Ilmiyah fî Al-Qur'am al-Karîm baina ad-Dirâsah wa at-Tathbîq, hal. 14;
Hakimi, Syaikh Muhammad Ridha, AL-Qur'an wa al-'Ulûm al-Kawniyah, hal. 10;
Muhammad Mahmud Ismail, al-Isyârât fî al-Ayat al-Kawniyah fî Al-Qur'an
al-Karîm, hal. 7.
[3]Al-Hanafi,
Ahmad, at-Tafsîr al-'Ilmî li al-Ayat al-Kawniyah
fî Al-Qur'an, 38-41; Tafsir Nemûneh, jilid 2, hal. 226.
[5]Ahmad Umar Abu
Hajar, at-Tafsîr al-'Ilmî li li Al-Qur'an fî
al-Mîzân, hal. 468; Tafsir Nemûneh, jilid 55, hal. 435.
[10]Ath-Thabarsi, Majma' al-Bayân, jilid 5 dan 6, hal. 421; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, jilid 2, hal. 512; Abul Futuh ar-Razi, Tafsir Abul Futuh, jilid 3, hal. 172.
[11]Tafsir Nemûneh, jilid 10, hal. 111; al-Maraghi, ad-Durûs ad-Dîniyah, hal. 61-62; Wahiduddin
Khan, al-Islam Yatahaddâ, hal. 212.
[12]Majma' al-Bayân, jilid 9, hal. 242; al-Kasysyâf, jilid 4, hal.
404; Tafsir Abul Futuh, jilid 5, hal. 155.
[13]Tafsir Nemûneh, jilid 22, hal. 373; al-Mîzân, jilid 18, hal.
382; Rûh al-Ma'ânî, jilid 28, hal. 17-27.
[14]Majma' al-Bayân, jilid 7, hal. 79; al-Kasysyâf, jilid 3, hal.
119; Tafsir Abul Futûh, jilid 13, hal.
229; al-Mîzân, jilid 14, hal. 219; Tafsir Nemûneh, jilid 13, hal. 416.
[15]Al-Kawakibi, Thabâ'i' al-Istibdâd wa Mashâri' al-Istib'âd, hal. 43-46, menukil
dari buku at-Tafsir al-'Ilmî li Al-Qur'an fî
al-Mîzân, hal. 190.
[19]Muthâbaqah al-Ikhtirâ'ât al-'Ashriyah, hal. 27, menukil dari at-Tafsir al-'Ilmî li Al-Qur'an fî al-Mîzân, hal. 446.
http://quran.al-shia.org
Komentar
Posting Komentar