Tarekat Nasqabandiyyah

2.2 TAREKAT NAQSYABANDIYAH
A.  Pendiri Tarekat Naqsabandiyah

Pendiri tarekat Naqsyabandiyah[1] seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha Al-Din Al-Uwaisi Al-Bukhari Naqsyabandi[2] (717 H/1318 M- 791H/1389 M), dilahirkan disebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari.[3] Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia juga mendapat gelar Syaikh yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba Al-Samasi hingga ia belajar tasawuf kepadanya ketika berusia 18 tahun. Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada Amir Sayyid Kulal Al-Bukhari, seorang quthb di Nasaf. Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Baba Al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang didirikannya
Pendidikan Baha Al-Din dari kedua guru utamanya ( Baba al- samasidan Amir Kulal) membuat ia mendapatkan mandat yang cukup sebagai pewaris tradisi Khwajagan. Khwajagan mempopulerkan tarekatnya di Asia Tengah dan banyak menarik orang dari berbagai kalangan masyarakat yang berbeda.
Berkaitan dengan jalan mistis yang ditempuhnya, Baha Al-Din mengatakan bahwa ia berpegang teguh pada jalan yang ditempuh Nabi dan para sahabatnya. Ia mengatakan bahwa sangatlah mudah mencapai puncak pengetahuan tertinggi tentang monoteisme (Tauhid), tetapi sangat sulit mencapai makrifat yang menunjukkan perbedaan halus anatar pengetahuan dan pengalaman spiritual.

Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah
Merupakan tarekat yang pokok amaliyahnya terdiri dari zikir dan wirid yang membedakan antara tarekat-tarekat lain bahwa dalam berdzikir tarekat  naksabandiyah merupakan zikir diam atau zikir didalam hati tidak serta tarekat-tarekat lain yang berzikir secara keras serta jumlah hitungan zikir yang diamalkan lebih banyak
Tarekat Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat muslim yang berbeda diberbagai wilayah. Tarekat ini pertama berdiri di Asia Tengah yang tersebar di kota-kota penting dan kampung-kampung kecil kemudian meluas ke Turki,Suriah, Afganistan dan India.
Ciri yang menonjol dari tarekat Naqsabandiyah adalah
A.  Diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebebkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berdzikir dalam hati.

B.  Upaya yang serius dalam   kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama.

Diliahat dari aspek spiritual, hal yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah mampu membentuk alam perkembangan spiritual dengan menunjukkan berbagai tahapan dan kedudukan (ahwal dan maqamat) yang harus dilalui oleh seorang sufi, berdasarkan pengalaman dan petualangan spiritual. Ciri khas lain yang tidak boleh dilupakan adalah para syaikh Naqsyabandiyah memiliki kesadaran akan misi. Mereka meyakini bahwa mereka ditakdirkan untuk memainkan peranan dalam sejarah.[4]

Pelopor Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia
Dalam perkembangan dan penyebarannya di Indonesia Tarekat Naqysabandiyah mengalami pasang surut, ini disebabkan beberapa faktor, antara lain yaitu gerakan pembaruan dan politik
Syaikh Yusuf Makassari (1626- 1699) merupakan orang pertama yang memperkenalkan Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara. Ia menulis berbagai risalah mengenai tasawuf dan menulis surah-surah yang berisi nasihat-nasihat kerohanian untuk orang-orang penting misalnya surah-surah Karaeng Karuntung (pemimpin Laskar Kerajaan Gowa). Walaupun sebagian dari tulisannya tidak diketahui rimbanya, tetapi sekitar dua puluh naskah pendek yang disebut sebagai karangannya masih ada dalam koleksi naskah di Jakarta dan Leiden. Kebanyakan dari risalah dan surah-surah yang ditulis beliau berbahasa arab dan Bugis.

Selain penganut tarekat Naqsyabandiyah, beliau juga berbai’at menganut beberapa tarekat lainnya yaitu Khalwatiyah, Syattariyah, Ba’alawiyah, dan Qadariyah. Sistem sufistik yang diajarkan oleh Syaikh Yusuf tampaknya merupakan gabungan unsur-unsur dari berbagai macam tarekat yang dipelajarinya

Teknik Dan Ritual Tarekat Naqsabandiyah
Merupakan tarekat yang pokok amaliyahnya terdiri dari zikir dan wirid yang membedakan antara tarekat-tarekat lain bahwa dalam berdzikir Tarekat  Naksabandiyah merupakan zikir diam atau zikir didalam hati tidak serta tarekat-tarekat lain yang berzikir secara keras serta jumlah hitungan zikir yang diamalkan lebih banyak
Ajaran Dasar
Tarekat Naqsabandiyah seprti tarekat lainnya mempunyai beberapa tata cara peribadahan, teknik spiritual, dan ritual tersendiri. Ajaran dasar tarekat Naqsyabandiyah menurut Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitabnya “Tanwir al-Qulub” seperti dikutip oleh Fuad[5] terdiri atas 11 asas, 8 asa dirumuskan Abd al-Khaliq Ghujdwani, sedangkan 3 asa lainnya adalah penambahan oleh Muhammmad Baha al-Din Naqsyabandi.
Ajaran dasar tersebut adalah
1.  Husy Dar Dam (sadar sewaktu bernafas) yaitu suatu latihan konsentrasi dimana seseorang harus menjaga diri dari kekhilafan dan kealfaan ketika keluar masuk nafas, supaya hati selalu merasakan kehadiran Allah SWT.

2.  Nazhar Bar Qadam (menjaga langkah), yaitu seorang murid yang sedang menjalani khalwat suluk, bila berjalan harus menundukkan kepala melihat kearah kaki. Dan apabila duduk tidak memandang kekiri dan kekanan. Sebab memandang kepada aneka ragam ukiran dan warna dapat melalaikan orang dari mengingat Allah, selain itu juga supaya tujuan-tujuan yang (rohaninya) tidak dikacaukan oleh segala hal yang berada disekelilingnya tidak relevan.

3.  Safar Dar Wathan ( melakukan perjalanannya ditanah kelahirannya). Yaitu melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk ketidak sempurnaannya sebagai manusia yang rendah sifat-sifat malaikat yang terpuji

4.  Khalwat Dar Anjuman (sepi ditengah keramaian). Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, dan anjuman berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini adalah sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi pada waktu yang bersamaan hatinya harus tetap bertaut kepada Allah dengan berzikir dan selalu bersikap wara’

5.  Yad Krad ( ingat atau menyebut) ialah berzikir terus menerus mengingat Allah.

6.  Baz Gasht (kembali, memperbaharui) ini dilakukan untuk mengendalikan hati agar tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang

7.  Nigah Dasyt (waspada), ialah setiap murid harus menjaga hati, pikiran, dan perasaan dari sesuatu walau sekejap ketika melakukan zikir tauhid.

8.  Yad Dayt (mengingat kembali) yaitu tawajjuh (menghadapkan diri) kepada Nur dzat Allah Yang Maha Esa, tanpa berkata-kata. Pada hakikatnya menghadapkan diri dan mencurahkan perhatian kepada nur dzat Allah itu tiada lurus, kecuali sesudah fana (hilang kesadaran yang sempurna).

Tiga asas lainnya yang berasal yang berasal dari Syaikh Baha al-Din Naqsyabandi adalah
1)  Wuquf Zamani (memeriksa penggunaan waktu) yaitu orang bersuluk senantiasa selalu mengamati dan memerhatikan dengan teratur keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali.
2)  Wukuf ‘Adadi (memeriksa hitungan zikir) yakni penuh dengan hati-hati (konsentrasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada zikir nafi itsbat, 3 atau 5 sampai 21 kali
3)  Wuquf Qalbi (menjaga hati tetap terkontrol)

ZIKIR
Titik berat amalan penganut tarekat Naqsyabandiyah adalah zikir. Zikir adalah berulang-ulang menyebut nama Allah atau menyatakan kalimah laa ilaaha illallah dengan tujuan untuk mencapai kesadaran akan Allah yang lebih langsung dan permanen. Bagi penganut tarekat ini zikir, dilakukan terutama zikir khafi (diam, tersembunyi) secara berkesinambungan, pada waktu pagi, siang, sore, malam, duduk, berdiri, diwaktu sibuk dan diwaktu senggang.
Tarekat Naqsyabandiyah mempunyai dua macam zikir, yaitu
1.  Zikir ism al-dzat, artinya mengingat nama yang haqiqi dengan mengucapkan nama Allah berulang-ulang dalam hati, bahkan ribuan kali sambil memusatkan perhatian kepada Allah semata
2.  Zikir tauhid, artinya mengingat keesaan. Zikir ini terdiri atas bacaan perlahan diiringi dengan pengaturan nafas. Kalimah laa ilaaha illallah yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh.

Selain itu juga ada zikir Latha’if yanag lebih tinggi tingkatannya, namun ini bukan khas dari tarekat Naqsabandiyah saja, tetapi terdapat pula pada berbagai sistem psikologi mistik, hanya jumlah dan namanya yang berbeda.
Dalam praktiknya ada dua cara pertama yaitu zikir hati ialah tafakur mengingat Allah, merenungi dzat dan sifat Allah yang Mulia dan rahasia ciptaannya secara mendalam, kedua yaitu zikir anggota (Jawarih), ialah tenggelam dalam ketaatan.
Terdapat tujuh tingkatan zikir, yakni :
1.  Mukasyafah, yaitu zikir sebanyak 5000 atau 6000 kali sehari semalam sebagai maqam (tingkat) pertama
2.  Latha’if, yaitu zikir sebanayak 7000 sampai 11.000 kali sehari semalam sebagai maqam kedua
3.  Nafi Itsbat, yaitu setelah berzikir 11.000 kali, atas pertimbangan syaikh maka zikirnya diteruskan dengan kalimat laa ilaha illallah sebagai maqam ketiga
4.  Wuquf Qalbi, sebagai maqam keempat
5.  Ahadiah, sebagai maqam kelima
6.  Ma’iah, senagai maqam keenam
7.  Tahlil, sebagai ketujuh

Orang yang berada dimaqam ketujuh menurut pandangan syaikh akan diangkat menjadi khalifah dan wajib menyebarluaskan tarekat itu. Tingkat tertinggi bagi lai-laki adalah khalifah, dan bagi wanita adalah tahlil, namun suluk masih bisa diteruskan.
Rabithah
Ialah menghadirkan rupa guru atau syaikh ketika hendak berzikir. Hal ini adalah salah satu kelanjutan dari salah satu ajaran yang terdapat pada tarekat ini yaitu wasilah. Wasilah adalah mediasi melalui seorang pembimbing spiritual (mursyid) sebagi suatu yang dibutuhkan untuk kemajuan spiritual

Khatm khwajagan
Khatm artinya penutup atau akhir, khwajagan berasal dari bahasa Persia artinya syaikh-syaikh. Khatm Khwajagan artinya serangkaian wirid, ayat, shalawat dan doa yang menutup  setiap zikir berjamaah. Khatm dianggap sebagai tiang ketiga Naqsyabandiyah, setelah zikir ism al-dzat dan zikir nafi wa itsbat. Khatm dibacakan ditempat yang tidak ada orang luar dan pintu harus tertutup. Tidak seorangpun boleh ikut serta tanpa izin terlebih dahulu kepada syaikh, dan peserta khatm haruslah dalam keadaan berwudhu dan dalam pelaksanakannya membutuhkan waktu yang cukup lama.





[1] Diambil dari nama pendirinya  Baha Al-Din Naqsabandi
[2] Naqsaband secara harfiah berarti “pelukislah , penyulam, penghias”. Jika nenek moyang mereka adalah penyulam, nama itu mungkin m mengacu pada profesi keluarga; jika tidak hal itu menunjukkan kualitas spiritualnya untuk melukis nama Allah diatas hati seorang murid
[3] H.A. Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsabandiyah, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996, h.23.
[4] Nizami, Ibid h. 221
[5] Fuad Said, Ibid, h. 47

Komentar

Postingan Populer