Shalat Menurut 4 Mazhab

1.1         Rukun-Rukun Shalat Menurut Pendapat Para  Imam Mazhab Yang Empat
Shalat merupakan kewajiban bagi seluruh umat muslim dan salah satu rukun islam, dan jika ada orang yang meninggalkannya karena malas atau meremehkan, sedangkan ia meyakini bahwa shalat itu wajib para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menghukumi orang tersebut. Menurut Mazhab Syafi'i, Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali orang yang seperti itu harus dibunuh, sedangkan mazhab Hanafi, orang itu harus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia sholat. Selain perbedaan tersebut, para ulama mazhabpun berbeda pandangan terhadap rukun-rukun shalat seperti niat, takbiratul ihram, berdiri dan lain sebagainya.[1]
1.    Niat
Semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma'ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad SAW bila menegakkan sholat, beliau langsung mengucapkan Allahu akbar dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali.

2.    Takbiratul Ihram
Sholat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini, menurut  para ulama mazhab yaitu
·      Imam Maliki dan imam Hambali : Kalimat takbiratul ihram adalah Allah Akbar (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya
· Imam Syafi'i : Boleh mengganti "Allahu Akbar" dengan "Allahu Al-Akbar", ditambah dengan alif dan lam pada kata Akbar.
· Imam Hanafi : Boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti Allah Al-A'dzam dan Allahu Al-Ajall (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
Sedangkan, dalam pengucapannya imam Syafi'i, imam Maliki dan imam Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang sholat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab).
Imam Hanafi berpendapat sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.
Semua ulama mazhab sepakat, syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam sholat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri dan dalam mengucapkan kata Allahu Akbar itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.   
3.    Berdiri
Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam sholat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku', harus tegap, bila tidak mampu ia boleh sholat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh sholat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut para ulama mazhab yaitu
·  Menurut Imam Syafi'i dan Imam Hambali: shalat itu tidaklah  gugur dalam keadaan apapun, jika tidakmampu shalat dengan mirirng pada bagian kiri ia boleh sholat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila ia tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya (kedipan mata) . jika tidak mampu, maka ia harus sholat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan sholat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.  
·  Menurut Imam Hanafi : Bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah sholat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (mengqadha'nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.
                                      
· Menurut Imam Maliki : Bila sampai seperti ini, maka gugur perintah sholat terhadapnya dan tidak diwajibkan mengqadhanya.

4.    Bacaan

Mengenai bacaan ulama mazhab berbeda pendapat.

1)   Menurut Imam Hanafi :

o           membaca Al-Fatihah dalam sholat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh, pendapat itu berdasarkan Al-Qurat surat Muzammil ayat 20 : "Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran," (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya'rani, dalam bab shifatus shalah).

o  Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang sholat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya.

o  Dalam sholat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir.

o  Menyilangkan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya.


2)   Menurut Imam Syafi'i :

§  Membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada sholat fardhu maupun sholat sunnah.

§  Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada sholat maghrib dan isya', selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan.

§  Pada sholat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku' pada rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja.

§  Menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri.




3)   Menurut Imam Maliki :

Ø Membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada sholat fardhu maupun sholat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi'i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama.
    
Ø Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pada sholat subuh dan dua rakaat pertama pada sholat maghrib dan isya'

Ø qunut pada sholat subuh saja.
Ø menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada sholat fardhu.


4)   Menurut Imam Hambali :

·      Wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada sholat subuh, serta dua rakaat pertama pada sholat maghrib dan isya' disunnahkan membacanya dengan nyaring.
·      Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras.
·      Qunut hanya pada sholat witir bukan pada sholat-sholat lainnya.
·      Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar.

Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi 'alaihim waladhdhaallin, maka kalian harus mengucapkan amin."


5.    Ruku'

Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku' adalah wajib di dalam sholat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya berthuma'ninah di dalam ruku', yakni ketika ruku' semua anggota badan harus diam,tidak bergerak.

*   Imam Hanafi : Yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma'ninah.
*   Mazhab-mazhab yang lain : Wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan berthuma'ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku'.


sedangkan bacaan dalam ruku’ menurut ulama mazhab yaitu

ü imam Syafi'i, imam Hanafi, dan imam Maliki berpendapat bahwa tidak wajib berdzikir ketika sholat, hanya disunnahkan saja mengucapkan :Subhaana rabbiyal 'adziim, "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung."
ü Imam Hambali berpendapat bahwa membaca tasbih ketika ruku' adalah wajib. Kalimatnya menurut imam Hambali  yaitu Subhaana rabbiyal 'adziim, "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung."

Selanjutnya gerakan ‘itidal menurut ulama mazhab

§  Menurut Imam Hanafi : Tidak wajib mengangkat kepala dari ruku' yakni i'tidal (dalam keadaan berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh.

§  Menurut mazhab-mazhab yang lain : Wajib mengangkat kepalanya dan beri'tidal, serta disunnahkan membaca tasmi', yaitu mengucapkan : Sami'allahuliman hamidah, "Allah mendengar orang yang memuji-Nya."

5)   Sujud

o  Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya.
menurut Imam Maliki,Imam Syafi'i, dan imam Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah.

o  Imam Hambali : Yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna.

Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan.

Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma'ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku'. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku' juga mewajibkannya di dalam sujud.
Mengenai duduk diantara dua sujud menurut mazhab Imam Hanafi  tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu, sedangkan menurut  mazhab-mazhab yang lain wajib duduk di antara dua sujud.

6)   Tahiyyat : Tahiyyat di dalam sholat dibagi menjadi dua bagian

Pertama, tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari sholat maghrib, isya', dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam disebut juga tahiyyat awal.

Kedua, tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada sholat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat dan disebut tahiyyat akhir.

Menurut imam Hambali tahiyyat pertama itu wajib, sedangkan mazhab-mazhab lain hanya sunnah.
Sedangkan, Tahiyyat terakhir menurut imam Syafi'i, dan imam Hambali  adalah wajib. Namun menurut imam Maliki dan imam Hanafi adalah sunnah, bukan wajib.
Menurut imam Syafi'i, imam Maliki, dan imam Hambali Mengucapkan salam adalah wajib. Sedangkan imam Hanafi menurutnya tidak wajib.[2]
Mengenai kalimat salam menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu “Assalaamu'alaikum warahmatullaah, "Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian." Imam Hambali wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib.

7)   Tertib
Diwajibkan tertib antara bagian-bagian sholat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku', dan ruku' didahulukan dari sujud, begitu seterusnya.

8)   Berturut-turut
Diwajibkan mengerjakan bagian-bagian sholat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku' setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf.

1.2.       Qunut Menurut Para Imam Mazhab Yang Empat
Mayoritas penduduk Muslim di Indonesia menggunakan qunut ketika melakukan sholat shubuh. Dalam hal ini qunut adalah sesuatu yang  selalu menjadi bahan pembahasan yang hangat setiap kali diadakan perbincangan mengenai masalah shalat.  Disamping selain ada yang menggunakan qunut ada juga yang menolak qunut. Itu disebabkan menurut mereka dasar dalil dari penggunaan qunut tersebut tidaklah kuat atau lemah, namun bagi yang menggunakannya berpendapat bahwa dasar dari dalil penggunaannya adalah kuat atau shahih. Selanjutnya, Berikut ini pendapat tentang qunut menurut  para ulama mazhab yang empat.
1)   Imam Maliki
Berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.



2)   Imam Syafi’i
Berpendapat  bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (qunut nazilah).

3)   Imam Hanafi
Berpendapat  bahwa disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian).

4)   Imam Hambali
Berpendapat  bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku’.
Dari pendapat para imam madzhab tersebut, dapat dilihat bahwa pendapat yang lebih kuat ialah tidak disyari’atkan qunut pada shalat fardhu kecuali pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa musibah). Adapun qunut witir tidak ada satu hadits shahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau melakukan qunut witir. Akan tetapi dalam kitab Sunan ditunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al Hasan bin ‘Ali bacaan yang diucapkan pada qunut witir yaitu “Allahummah diini fiiman hadayt …”. Sebagian ulama menshahihkan hadits ini.[3] Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika meninggalkannya, juga baik. Hanya Allah yang memberi taufik. (Ditulis oleh Syaikh Muhammad Ash Sholih Al ‘Utsaimin, 7/ 3/ 1398)[4]
Adapun mengenai qunut dalam shalat shubuh secara lebih spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan dalam fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya: “Apakah disyari’atkan do’a qunut witir (Allahummah diini fiiman hadayt …) dibaca pada raka’at terakhir shalat shubuh?”
Beliau rahimahullah menjelaskan: “Qunut shubuh dengan do’a selain do’a ini (selain do’a “Allahummah diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali jika di sana terdapat sebab yang berkaitan dengan kaum muslimin secara umum. Sebagaimana apabila kaum muslimin tertimpa musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat ini mereka membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan do’a qunut tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.
1.3.     Mengangkat tangan dan mengamini ketika imam membaca qunut waktu shubuh
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan
“Oleh karena itu, seandainya imam membaca qunut shubuh, maka makmum hendaklah mengikuti imam dalam qunut tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah ini. Hal ini dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin”.
Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin mengatakan, “Yang lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan do’a (qunut) imam. Makmum mengangkat tangan mengikuti imam karena ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu dan lainnya. Imam Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di belakang imam yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan mengamini do’anya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkannya qunut shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari pendapat beliau. Akan tetapi, Imam Ahmad rahimahullah memberikan keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan mengangkat tangan ketika imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati (antar sesama muslim).[5]
1.4.        Dasar dalil dari penggunaan qunut
Jika diperhatikan, hukum qunut pada shalat shubuh sangatlah kontroversial, lantaran perbedaan pendapat di kalangan para ulama sangat besar. Pendapat para ulama tentang hukum qunut pada shalat shubuh ini berkembang menjadi dua pendapat utama, yaitu kalangan yang menolak qunut shubuh dan kalangan yang mendukung.
Dan ternyata masing-masing pihak itu masih terbelah lagi, kalangan yang menentang qunut shubuh ada yang membid'ahkan tapi ada juga yang sekedar memakruhkan. Dan kalangan yang mendukung qunut shubuh ada yang berpendapat hukumnya mustahab, sunnah muakkadah bahkan mewajibkan.


A.  Ulama yang menolak
Para ulama yang mengatakan bahwa qunut pada shalat shubuh tidak disyariatkan antara lain adalah mazhab Al-Hanafiyah, Al-Hanabilah dan Ats-Tsauri.[6] Termasuk yang berpendapat sama adalah dari kalangan sahahabat di antaranya adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar dan Abu Ad-Darda' radhiyallahuanhum.
Kelompok yang menolak qunut shubuh. Terdiri dari dua pendapat, yaitu bid'ah dan makruh.
a)    Bid’ah
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah dari mazhab al Hanafiah tegas mengatakan bahwa qunut pada shalat shubuh itu hukumnya bid'ah[7]
b)   Makruh
Pendapat yang lain adalah mazhab Al-Hanabilah. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah tidak membid'ahkan qunut shubuh namun beliau berpendapat hukumnya makruh[8]
c)    Dalil
Baik yang berpendapat bid'ah atau makruh, keduanya sama-sama mendasarkan pendapat mereka pada argumen bahwa qunut shalat shubuh itu pernah disyariatkan, namun kemudian dinasakh atau dihapuskan.
Di antara dalil nash yang menyebutkan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ حَدَّثَهُ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ  قَنَتَ شَهْرًا فِي صَلاةِ الصُّبْحِ
Dari Anas bin Malik diceritakan kepadanya bahwa Nabiyullah SAW melakukan doa qunut pada shalat shubuh selama sebulan. (HR. Al-Bukhari)
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ
Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan doa qunut mendoakan kebinasaan penduduk suatu dusun orang Arab selama sebulan lalu meninggalkannya (HR. Muslim)
Selain itu juga hadits lain yang menguatkan tentang beberapa sahabat utama seperti Abu Bakar, Utsman dan Alibin Abi Thalib radhiyallahuanhum yang tidak melakukan doa qunut pada shalat shubuh.
عَنْ أَبِي مَالِكٍ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ الأْشْجَعِيِّ قَال : قُلْتُ لأِبِي : يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُول اللَّهِ  وَأَبِي بَكْرٍ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هَاهُنَا بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ ؟ قَال : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ . وَفِي لَفْظٍ : يَا بُنَيَّ إِنَّهَا بِدْعَةٌ
Dari Abi Malik Saad bin Thariq Al-Asyja'ie berkata,"Aku tanya kepada Ayahku : Wahai Ayahanda, Anda pernah shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Utsman dan Ali disini di Kufah, selama lima tahun, apakah mereka membaca doa qunut?". Ayahku menjawab,"Wahai anakku, muhdats (hal baru yang diada-adakan)". Dalam lain riwayat : wahai anakku, qunut itu bid'ah". (HR. At-Tirmizy dan An-Nasa'i)
Dari hadits-hadits di atas, para ulama di dalam pendapat ini mengatakan bahwa pensyariatan qunut pada shalat shubuh pernah ada namun hanya berlaku selama sebulan saja, lantas kemudian dinasakh (dihapus).
B.  Ulama yang mendukung
Kelompok kedua berpendapat bahwa qunut subuh itu disyariatkan dan dikerjakan oleh Rasulullah SAW semasa hidup beliau. Dan tidak terjadi nasakh atau penghapusan atas pensyariatan qunut shalat shubuh.
Kelompok ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu mereka yang mengatakan hukumnya mustahab, sunnah muakkadah dan wajib.
a.    Mustahab,
Pendapat bahwa qunut pada shalat shubuh itu hukumnya mustahab (dicintai) dan fadhilah (diutamakan) difatwakan oleh mazhab Al-Malikiyah dalam qaul yang masyhur[9]

b.    Sunnah muakkadah
Mazhab Asy-Syafi'iyah menegaskan bahwa pendapat mereka bahwa qunut pada shalat subuh ini hukumnya sunnah muakkadah[10].
c.    Wajib  
Yang berpendapat bahwa melafadzkan doa qunut pada shalat shubuh hukumnya wajib adalah Ali bin Ziyad. Sehingga dalam pandangannya yang menyendiri itu, orang yang pada waktu shalat shubuh tidak membaca doa qunut, maka shalatnya tidak sah atau  batal.[11]


d.   Dalil
Dalil yang mendasari tentunya sama dengan dua madzhab sebelumnya, bedanya kalau mazhab Al-Malikiyah menyimpulkan hukumnya mustahab, mazhab Asy-Syafi'iyah menyimpulkan hukumnya sunnah muakkadah, maka Ali bin Ziyad menyimpulkan hukumnya wajib.
Namun pendapat terkhir ini nampaknya bukan pendapat yang muktamad, tidak mewakili mayoritas ulama.
Dalil-dalil yang digunakan oleh kelompok ini cenderung sama, namun mereka berbeda dalam kesimpulan akhirnya.
Dasar pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan qunut pada shalat shubuh sebagaimana yang diklaim pendapat sebelumnya. Mereka mempunyai dasar hadits yang menegaskan bahwa Rasulullah SAW melakukan doa qunut pada shalat subuh hingga akhir hayat beliau.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Imam Ahmad, jilid 2 hal. 215 menuliskan hadits berikut ini :
مَا زَال رَسُول اللَّهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Rasulullah SAW tetap melakukan qunut pada shalat fajr (shubuh) hingga beliau meninggal dunia. (HR. Ahmad).
عَنْ أنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ  قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهَ فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتىَّ فَارَقَ الدُّنْيَا
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW melakukan doa qunut selama sebulan mendoakan keburukan untuk mereka, kemudian meninggalkannya. Sedangkan pada waktu shubuh, beliau tetap melakukan doa qunut hingga meninggal dunia. (HR. Al-Baihaqi)
Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi, dari Muhammad bin Abdullah Al-Hafidz, dari Bakr bin Muhammad As-Shairafi, dari Ahmad bin Muhammad bin Isa, dari Abu Na'im, dari Abu Ja'far Ar-Razi, dari Rabi' bin Anas, dari Anas, dari Rasulullah SAW. Sedangkan derajat hadits ini dinyatakan shahih menurut beberapa ulama hadits, di antaranya :
·       Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Balkhi bahwa sanad ini shahih dan para rawinya tsiqah.
·       Al-Hakim dalam kitab Al-Arbainnya berkata bahwa hadits ini shahih.
·       Diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang shahih.[12]
Meski ada juga yang mendhaifkan hadits ini dengan alasan adanya Abu Ja'far Ar-Razi.Ibnul Jauzi mendhaifkan hadits ini.[13] Namun Al-Mulaqqan mengatakan bahwa pendhaifan ini tidak diterima, karena kesendirian Ibnul Jauzi[14] Al-Albani juga mendhaifkan hadits ini munkar. dan mengatakannya sebagai hadits munkar[15]
Di dalam hadits Al-Baihaqi ini lebih jelas lagi disebutkan perbedaan antara doa qunut dan doa keburukan kepada suatu kaum. Jelas sekali bahwa yang dimaksud bahwa Rasulullah SAW melakukannya selama sebulan lantas meninggalkannya itu bukan qunutnya, melainkan doa keburukan atas suatu kaum.
Kesimpulannya, doa qunut tetap dilakukan hingga Rasulullah SAW meninggal dunia, dan yang beliau tinggalkan hanyalah doa keburukan saja
Kurang lebih itulah jawaban para ulama di dalam mazhab Asy-syafi'iyah, yaitu bahwa hadits tentang qunut shubuhnya Rasulullah SAW adalah hadits yang shahih. Sanadnya tersambung sampai kepada Rasulullah SAW dan perawinya adalah orang-orang yang tsiqah. Maka kesimpulan mazhab itu, karena Rasulullah SAW 100% dipastikan menjalankan qunut shubuh hingga akhir hayat beliau berdasarkan hadits shahih, maka kalau tidak kita kerjakan justru menyalahi sifat shalat Rasulullah SAW sendiri.




[1] http://Sholat Wajib Menurut 4 Imam Mazhab   Imam Syafe'i, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali ~ Sejarah Ahlulbait Rasulullah.htm
[2] Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126).

[3] Hadits ini diriwayakan oleh At Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ad Darimiy. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalm Misykatul Mashobih 1273. Hal 20
[4] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/97-98, Asy Syamilah
[5] http:// Qunut Shubuh dalam Pandangan Empat Madz-hab _ Rumaysho.com
[6] Ibun Qudamah, Al-Mughni jilid 2 hal. 585, Al-Imam An-Nawawi, Raudhatut-Thalibin, jilid 1 hal. 254, Kasysyaf Al-Qina jilid 1 hal. 493.
[7] Majma' Al-Anhar jilid 2 hal. 129
[8] Syarah Muntaha Al-Iradat jilid 1 hal. 228, Kasysyaf Al-Qina jilid 1 hal. 493
[9] Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 66, Mawahibul Jalil jilid 1 hal. 539
[10] Al-Imam An-Nawawi, Al-Adzkar hal. 86
[11] Hasyiyatu Al-Banani 'ala Az-Zarqani jilid 1 hal. 212
[12] Khulashotul Ahkam, An-Nawawi, jilid 1 hal. 450
[13] Khulashah Al-Badru Al-Munir, jilid 1 hal. 127
[14] Al-'Ilal Al-Mutanahiyah, jilid 1 hal. 444
[15] Silsilah Dhaifah, jilid 12 hal. 148

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer